Interaktif | Orang Miskin Dilarang Sakit - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Jumat, 29 November 2024

    Interaktif | Orang Miskin Dilarang Sakit



    Interaktif,
    Orang miskin dilarang sakit.

    Sepertinya kalimat tersebut sangat tepat ditujukan terhadap para orang miskin ataupun golongan masyarakat yang tak mampu dan hidupnya tak beruntung, dikarenakan biaya berobat itu sangatlah mahal.

    Hari itu sudah melewati pagi ketika istriku datang tiba-tiba ke tempat kerjaku dengan raut muka sedih dan kemudian bercerita, "bekas tetangga kita di Gang P dulu itu sangat kasihan; anaknya mengalami sesak nafas dan kesakitan."

    Iya, aku ingat bekas tetangga kami dulu itu sudah ditinggal mati suaminya beberapa tahun lalu, sehingga kini hidupnya agak susah, penghasilannya setiap hari hanya cukup untuk makan. Disamping itu bekas tetangga kami ini kumpul satu rumah dengan seorang anak perempuannya yang meski sudah bersuami; tapi sama melarat dengan dirinya.

    "Tapi anak bekas tetangga kita itu kan ada suaminya ?" tanyaku ke istri. 
    "Iya sih, tapi suaminya yang kerja batubara karungan itu juga saat ini sedang sakit, tak bisa kerja, dan sedang terbaring di rumah dan cuma bisa beli obat di kios," jawab istriku.

    Kata istriku pula, bekas tetangga kami itu beberapa menit lalu menelponnya minta bantuan bagaimana agar anaknya yang sedang mengalami sesak nafas itu bisa dievakuasi ke rumah sakit. Aku sarankan agar melapor ke Ketua RT setempat supaya ada solusi bisa membawa warganya itu ke rumah sakit.

    "Datangi Ketua RT-nya biar bisa cari mobil ambulance untuk membawa warganya itu," kataku.
    "Sudah, tapi Ketua RT tak ada di tempat sedang pergi jerja," ujar istriku.

    Sambil mendengarkan cerita istriku, aku sambil berpikir bagaimana membantu anak bekas tetangga kami itu minimal bisa mengevakuasinya ke rumah sakit. Kebetulan sudah beberapa hari ini mobilku sedang diperbaiki di bengkel, sehingga aku mesti mencari paling tidak mobil yang bisa dipinjam atau digunakan untuk membawa si sakit ke rumah sakit yang lumayan jauh.

    Akhirnya aku menghubungi seorang kerabatku, seorang Mantan Anggota DPRD (Legislator) yang dalam beberapa hari ini mobilnya aku setiri. Mantan Legislator itu bersedia membantu, dan ia menunggu di rumahnya. Aku pun menyuruh istriku agar duluan ke rumah bekas tetangga kami itu, dan aku naik sepeda motor ke rumah Mantan Legislator itu untuk mengambil mobil.

    Bersama kerabatku Mantan Legislator itu aku membawa si sakit yang didampingi ibunya ke Puskesmas untuk minta surat rujukan (referensi) ke rumah sakit. Selanjutnya kami termasuk istriku sama-sama ke rumah sakit mengantar si sakit ke ruang gawat darurat.


    Si sakit sudah ditangani oleh pihak rumah sakit. Untunglah ditanggung BPJS atas kebijakan Pemkab, namun permasalahannya adalah tak semua menjadi tanggungan BPJS, terdapat hal-hal lainnya yang harus dibayar oleh pasien ataupun keluarga pasien diantaranya periksa darah dan rongent (ronsen).

    "Ibunya mengaku saat ini cuma pegang uang Rp 50 ribu," kata istriku sambil minta pendapatku bagaima caranya mendapatkan dana untuk membantu ibu itu. Saat itu aku belum punya solusi tepat untuk membantunya, namun tetap berusaha sebisaku. Aku coba menghubungi seorang Pejabat di rumah sakit yang aku kenal, aku cerita tentang kondisi keuangan ibu itu, jawaban dari Pejabat itu menyarankan aku agar ke Dinas Kesehatan untuk bisa bebas dari biaya pengobatan lainnya. 

    Saran dari Pejabat rumah sakit itu sekedar kuketahui saja dan kuabaikan, karena kupikir urusannya pasti tidak bakal sederhana.

    "Paling tidak mesti siapkan uang Rp 3,5 juta untuk membayar biaya di luar perawatan yang ditanggung BPJS itu," kata intriku

    Aku pun mencoba menghubungi beberapa orang kenalanku diantaranya 2 Legislator yang masih bertugas, namun aku tak bisa berharap banyak, karena mereka saat itu sedang sibuk dan fokus terhadap pelaksanaan Pilkada. Diantara orang yang kuhubungi terdapat yang mau membantu, tak seberapa, namun cukup membantu si ibu sebagai pegangan untuk biaya makan minum selama menjaga anaknya yang sedang dirawat itu. 

    Hanya istriku yang terus memantau kondisi si sakit itu, sedangkan aku tetap terus berkerja seperti biasa.

    "Ibunya cerita, anaknya sudah diperiksa, di-rongent, lambungnya bengkak sudah hampir parah. kalau saja tak cepat dibawa ke rumah sakit kemungkinannya bisa meninggal," kata istriku.

    Beberapa hari kemudian si sakit diperbolehkan pulang oleh Dokter.

    "Sudah boleh pulang. Untunglah ada tetangganya yang mau meminjaminya uang Rp 1.750.000 untuk bayar rumah sakit, tapi si tetangga itu cuma kasih tempo 2 hari uangnya harus dikembalikan karena akan dipakai juga," cerita istriku sambil memintaku mencarikan jalan agar si ibu bisa mendapatkan uang untuk membayar utangnya itu. 

    Ceritaku ini terlalu panjang jika diteruskan, padahal cerita seperti terjadi setiap hari di negeri yang sangat kaya sumber daya alam ini. Yang jelas entah bagaimana si ibu bisa mengembalikan uang tetangganya itu tepat waktu, mungkin si ibu berhutang atau bagaimana; aku sengaja tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu adalah; begitu sulitnya jika orang miskin tertimpa sakit, dan tak banyak orang yang mau perduli. Di akhir tulisan ini aku kembali mengingatkan; orang miskin dilarang sakit. ©Jurnalisia™
    👀 174

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...