Lebih dari 1.400 tahun lalu seorang pria yang konon tak bisa baca tulis alias buta aksara, pernah menjadi penggembala di masa remaja, kemudian ikut berdagang, hingga berdagang sendiri, dan pada fase berikutnya berdakwah menyeru manusia untuk berakhlak baik dan bertauhid hanya menyembah Tuhan Yang Esa; sosok itu kemudian dikenal hingga saat ini adalah sebagai Nabi Muhammad SAW.
Tuhan Yang Maha Berkehendak telah memilih sosok seorang Muhammad sebagai Nabi, Rasul, atau UtusanNya tanpa mempertimbangkan apapun tak terkecuali latar belakang status sosial maupun keilmuan, karena Tuhan satu-satunya yang punya hak prerogatif berbuat apa saja yang Ia kehendaki.
Jika Tuhan dipercaya dan diyakini sebagai sosok yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, maka tak ada yang mustahil bagi Tuhan untuk berbuat apa yang Ia telah perbuat kepada sosok Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, Yesus (Isa) dan lainnya kepada manusia-manusia lainnya pula meski pada level yang berada di bawah sosok-sosok yang diklaim sebagai Nabi dan Rasul itu.
Anggap saja Tuhan tak lagi mengutus Malaikat untuk menyampaikan firman maupun wahyu kepada para manusia di era modern ini, tapi tak menutup kemungkinan Tuhan punya cara lain untuk menyampaikan banyak inspirasi keagamaan atau religiusitas dengan secara langsung menanamkannya ke pikiran maupun ke dalam hati manusia yang Ia pilih.
Sehingga tak perlu merasa heran jika ditemukan maupun terdapat manusia yang ahli di bidang keilmuan agama tetapi berlatar belakang pekerjaan ataupun profesi yang tak terkait dengan keagamaan. Apalagi di era modern ini seseorang dengan mudah dapat mengakses apa saja dan tentang apa saja tak terkeculi yang terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan.
Seseorang tidak harus secara formal memasuki sekolah keagamaan untuk mendapatkan ilmu tentang agama, namun dapat mempelajarinya kepada para ahlinya baik langsung maupun tidak langsung. Tak perlu heran jika seorang pembuat dan tukang reparasi arloji/jam tapi sangat ahli dalam ilmu hadits semisal Syekh Al Albani (Muhammad Nashiruddin Al Albani), atau seorang Buya Hamka (H. Abdul Malik Karim Amrullah) yang keilmuan beliau diperoleh secara tidak formal.
Setiap orang berhak bicara tentang agamanya terlepas apakah ia ahli atau tidak, karena dengan ilmu yang ia ketahui itulah sehingga ia meyakini agamanya untuk sekaligus meyakini Tuhan yang ia sembah untuk kemudian mempertanggungjawabkan apa yang ia yakini secara pribadi kepada Tuhan yang ia yakni itu bukan secara komunal atau berjamaah .
Gelar akademik yang dilekatkan pada nama seseorang; hanyalah huruf atau aksara yang menunjukkan seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu di sekolah formal; soal ilmu dan kecakapan; akan tampak jika dipraktikkan dan teruji oleh publik yang akan memberikan penilaiannya tersendiri. ©Jurnalisia™
👀 3835
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.