DPR RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPR RI, Selasa (06/12/22).
Pengesahan RKUHP itu dinilai oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) terkesan dipaksakan untuk ditetapkan. SMSI yang beranggotakan sekitar 2.000 perusahaan pers siber akan menggungat pengesahan RKUHP melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Untuk apa terburu-buru disyahkan, sementara sosialiasi kepada masayarakat belum maksimal, dan banyaknya masukan dari berbagai elemen masyarakat, terutama Dewan Pers bersama konstituennya yang belum terakomodir.
“Ini terkesan dipaksakan, pengesahan RKUHP; SMSI khawatir pasal-pasal yang ada masih banyak yang mengancam pelanggaran HAM, Kemerdekaan Pers dan Demokrasi. Beberapa pasal juga kami nilai berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers,” ujar Ketua Umum SMSI, Firdaus didampingi Ketua Bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi, Makali Kumar, SH dalam keterangan persnya, Kamis, 8 Desember 2022.
Meski tidak secara detil menyebut pasal per pasal, SMSI merasa khawatir dengan masih banyaknya pasal-pasal dalam KUHP yang baru direvisi, bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia, kemerdekaan pers dan demokrasi.
Diantaranya hak atas kesetaraan di hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi dan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Pada prinsipnya SMSI mendukung pembaruan hukum pidana. Namun semangat kodifikasi dan dekolonialisasi dalam UU KUHP ini jangan sampai mengandung kriminalisasi dan mereduksi hak-hak masyarakat, termasuk kebebasan pers,” jelas Firdaus.
SMSI menyayangkan keputusan DPR bersama pemerintah yang terkesan memaksakan untuk segera ditetapkan. Para wakil Rakyat dinilai mengabaikan partisipasi dan masukan masyarakat terutama komunitas pers.
UU KUHP yang baru saja disahkan, dianggap tidak melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR kurang mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik termasuk dari komunitas Pers.
“Banyak pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. SMSI melalui bidang hukum; sejak awal mengkritisi RUU KUHP tersebut. Bahkan kami aktif bersama konstituen lain di Dewan Pers, untuk melakukan berbagai upaya dalam menyikapi RUU KUHP supaya pasal-pasal yang krusial itu direvisi, supaya tidak bertentangan dengan HAM maupun UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,” tambahnya.
SMSI sepakat untuk terus berjuang bersama-sama dengan Dewan Pers dan konstituen lainnya, termasuk elemen masyarakat di luar komunitas pers, dalam menyikapi pengesahan UU KUHP tersebut, ke depannya termasuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyak pasal dalam UU KUHP tersebut sungguh mengancam HAM dan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman.
Pers sebagai pilar demokrasi yang berkerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.
Dalam demokrasi; kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi (social control), melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
Dewan Pers sendiri, sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan.
Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi. Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.
Ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi; merupakan hak asasi manusia hakiki.
“Seperti pasal 263 dan 264 RKUHP yang sudah disahkan. Didalamnya ada kata penyiaran dan berita. Frasa ini akan berpotensi menghambat kemerdekaan pers. SMSI dari awal minta untuk dihapus atau dihilangkan dalam RKUHP, karena hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,” tegas Firdaus.
Penulis : Imi Surya Putra
©Jurnalisia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.