foto : elsuyuthiblog |
Soal tahlilan dalam praktik keagamaan umat Islam di Indonesia sangat sering dan bahkan tak pernah habis-habisnya dijadikan pembahasan. Hal ini dikarenakan ada pihak yang pro dan tak sedikit pula yang kontra atau melarangnya dengan berbagai dalih dan dalil.
Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang ialah ucapacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).
Pada masa Rasulullah SAW pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta ijin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu (Sabbat, Red), sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi SAW tidak memberikan ijin, dan kemudian turunlah QS. Al Baqarah ayat 208; "Wahai orang-orang yang beriman ! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata."
Fatwa Tarjih menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.
News Writer : Imi Surya Putra
©Jurnalisia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.