foto : greysonctx |
Amri, hanyalah warga biasa yang memaksakan diri ingin melihat langsung acara pelantikan Kepala Daerah. Ia bukanlah termasuk undangan seperti para Orang Penting berbusana parlente yang datang ke acara sambil membawa kartu undangan berwarna putih dan kuning emas. Amri tepatnya cuma menyaksikan acara dari kejauhan dibalik pagar yang membatasi bangunan kantor Gubernur dengan jalan umum di depannya.
"Kok bisa ya seorang yang selama ini dikenal kurang baik di masyarakat luas; bisa terpilih sebagai Kepala Daerah," gumam Amri sambil meraih gelas kopi yang sudah dingin di atas meja kayu di ruang tamu.
Amri tak habis pikir terhadap kondisi politik masyarakat sejak reformasi bergulir beberapa tahun lalu di negeri ini. Masyarakat tampaknya sudah terlanjur euforia terhadap reformasi yang menjanjikan banyak hal terutama kebebasan di berbagai lini dan sisi kehidupan.
"Tak usah dipikirkan. Jalani dan ikuti saja permainan ini seperti kebanyakan orang di negeri ini, ikut arus saja," ujar Badri, teman baik Amri, sekaligus teman curhat dan berdiskusi bahkan berdebat.
"Sulit rasanya menerima apa-apa yang bertentangan dengan hati nurani," tegas Amri pada satu kesempatan Ia dan Badri sedang santai di satu kedai kopi.
"Itulah demokrasi, kawan. Dimana-mana orang mengelukan demokrasi yang katanya hebat itu," tambah Badri sambil terkekeh.
"Ah demokrasi. Lagi-lagi atas nama demokrasi," desah Amri seolah mengeluh.
Amri jadi ingat satu pelajaran, tepatnya pendapat tentang demokrasi oleh Plato dan Aristoteles; 2 nama yang cukup terkenal dalam sejarah peradaban manusia. Menurut mereka, demokrasi itu adalah sistem yang buruk.
“Demokrasi itu lebih kepada kuantitas mayoritas, bukan kualitas mayoritas,” cetus Amri.
“Betul ! Demokrasi itu acuannya suara mayoritas; vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Pilihan mayoritas lah yang akan memenangkan kompetisi; one man one vote,” sahut Badri.
Apa yang dikatakan Badri itulah yang sering dan selalu Amri dengar jika berbicara tentang demokrasi.
“Nah, disitulah sebenarnya letak dari keburukan sistem demokrasi yang dianut oleh banyak Negara di dunia ini,” sela Amri.
Badri cuma diam mendengar argument Amri, Ia menyeruput kopinya yang telah tinggal setengah gelas.
“Dengan sistem demokrasi one man one vote, apakah Kamu setuju disamakan dengan seseorang yang goblok dan tak berpendidikan ?” tanya Amri tiba-tiba mengejutkan Badri yang nyaris tersedak oleh kopi yang diminumnya.
“Jelas tidak ! Seseorang mesti dibedakan dengan beberapa acuan; tingkat intelektualitas, kepentingan yang artinya seberapa ia dipentingkan oleh publik, serta tingkat kewarasan dalam berpikir,” jawab Badri sekenanya.
”Itu dia yang dimaksud dengan keburukan sistem demokrasi. Satu suara seorang Ulama atau Kyai, Pastur atau Pendeta sama dengan satu suara orang yang bejat. Satu suara orang pintar, cerdas dan terpelajar sama dengan satu suara orang pandir, tolol, goblok dan tak berpendidikan. Jadi tiap orang itu punya hak yang sama namun beda kewajiban dalam penerapan sistem demokrasi,” jelas Amri.
Badri kembali terdiam. Ia seolah mencerna penjelasan Amri yang sudah ia anggap seperti seorang pakar.
“Sistem ini diperparah oleh adanya praktik politik uang pada tiap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dengan sistem demokrasi one man one vote. Secara faktual acuan Calon Kepala Daerah itu bukan dikarenakan rekam jejak yang baik, tingkat intelektualitas, dan kapabilitas untuk memimpin dan mengelola tugas dan kewajiban yang akan dibebankan kepadanya, tapi cuma faktor seberapa besar kemampuan finansialnya agar bisa memenangkan pertarungan politik,” Amri berujar tak kalah dengan pakar ketatanegaraan.
“Aku paham, dan sangat paham. Intinya jika ada sosok Iblis atau Setan yang menyerupai manusia dan memiliki banyak uang, maka ia pun berhak mencalonkan diri untuk jadi Kepala Daerah. Dan tak kalah pentingnya Iblis atau Setan itu royal bagi-bagi uang ke para calon pemilihnya, dipastikan akan dipilih oleh banyak orang,” kata Badri tertawa seraya mengacungkan jempol ke arah Amri yang sedang berdiri membayar 2 gelas kopi dan beberapa kue yang mereka minum dan makan selama mengobrol. (Imi Surya Putra/Imizona)
👀 33048
*Kesamaan nama tokoh, tempat, lokasi, karakter dan sebagainya; hanyalah kebetulan, karena tulisan ini hanyalah fiktif dan fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.