Dua hari lalu aku menulis sepucuk surat di atas sehelai kertas bekas pembungkus obat anti nyamuk cap burung phoenix dan naga. Ini kulakukan setelah tak menemukan sehelai kertas pun untuk menulis surat cinta pertamaku.
Hari itu aku sedang berada di rumah temanku, Edy yang merayuku agar aku mau menulis surat cinta sebisaku. Aku tak berpikir apakah pantas atau tidak menulis surat cinta di sehelai kertas yang hanya bekas pembungkus obat anti nyamuk bakar. “Yang penting isinya, bukan kertasnya kan,” cetus Edy.
Aku pikir kata-kata Edy ada benarnya, namun perbuatanku yang tak lazim.
Kala itu aku dan Edy sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Hujan rintik di bulan April menetes dari subuh hingga menjelang tengah hari. Matahari yang biasanya garang membakar bumi, lenyap bersembunyi dibalik awan mendung.
Dua gadis tanggung berpayung menembus rintik hujan, berjalan melewati jalan depan rumah Edy dimana kami berdua sedang duduk bercengkerama.
“Sssttt, diam sebentar. Itu ada gadis lewat,” sentak Edy sambil menyentuh bahuku.
Aku yang duduk membelakangi jalan pun berpaling ke arah yang ditujukan Edy.
Gadis tanggung, yang seorang mengenakan baju terusan warna coklat muda, berkulit sawo matang, berambut hitam sebahu, cukup manis. Yang seorang lagi, memakai busana underrock dipadu dengan kemeja warna krem, berambut pendek, berkulit agak kuning, sama manisnya. Keduanya berjalan lambat-lambat sambil bercengkerama satu sama lain.
Gadis yang berambut panjang itu sering kulihat lewat depan rumahku, setiap hari pergi dan pulang sekolah. Gadis itu tetanggaku berjarak sekitar 15 rumah, namun aku tak pernah bertegur sapa dengannya. Disamping itu sekolah kami berlainan, aku di SMP 1, sedangkan gadis tetanggaku itu di SMP 2.
“Hujan, mampir aja dulu !” Seru Edy yang sok kenal kepada dua gadis itu.
“Terima kasih,” sahut yang berambut pendek dari jarak sekitar kurang dari sepuluh meter.
Keduanya tetap meneruskan perjalanannya, namun yang berambut pendek itu tersenyum kepada Edy seperti menyimpan sesuatu.
“Kamu kenal sama yang berambut pendek itu ?” tanyaku ke Edy yang cengar cengir kesenangan.
Edy bukannya menjawab pertanyaanku, malah turun dari teras ke arah jalan sambil melambaikan tangan ke arah kedua gadis itu. Aku lihat gadis berambut pendek itu balas melambai dari jauh.
“Sialan ! Jangan-jangan si Edy ini kenal gadis-gadis itu,” sungutku dalam hati.
“Ah cuma begitu aja senangnya bukan main,” sindirku sebal setelah Edy duduk kembali di teras.
“Ya iyalah senang hatiku, yang rambut pendek itu kan pacarku,” sahut Edy tersenyum lebar sambil memegangi dadanya.
“Pantas aja,” kataku dengan suara datar tanpa ekspresi.
“Yang satu itu, teman pacarku itu kan tetanggamu ?” tanya Edy.
“Iya, memang kenapa ?” balikku tanya.
“Dia itu teman akrab satu sekolah dengan pacarku, belum ada pacarnya lagi,” terang Edy sambil senyum menunggu reaksiku.
“Biarkan aja, nggak ada hubungannya denganku, kan ?” balasku.
“Itu dia, justru belum ada hubungannya makanya kamu mesti menjalin hubungan,” kata Edy senang.
Edy membujukku agar mau berhubungan, singkatnya pacaran dengan gadis tetanggaku itu.
“Aku kan belum pernah pacaran, lagian pacaran itu gimana aku nggak ngerti,” dalihku menolak bujukan Edy.
“Dasar kamu aja ketinggalan, pacaran aja nggak tahu, tahunya cuma sekolah dan belajar aja,” Edy menyindirku dengan nada kecewa.
“Memangnya menurut kamu dia itu mau pacaran sama aku, gimana caranya ?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, wajah Edy berseri. “Tulis surat aja, nanti aku kasihkan ke dia lewat pacarku,” sahut Edy senang.
“Tapi aku juga belum pernah nulis surat untuk minta pacaran,” sahutku pula.
“Payah kamu, gitu aja nggak bisa, tulis aja sebisa kamu, atau nanti aku ajari,” tawar Edy sambil ngomel.
“Ya deh, terserah kamu aja gimana baiknya,” ujarku menyerah pada kemauan Edy yang tambah senang.
“Nah begitu, itu baru namanya sahabat. Jadinya aku ada teman pacaran,” kata Edy sambil ngajak tos tangan.
Itu kenangan yang tak pernah kulupa. Kenangan itu sudah melewati masa lebih dari 30 tahun lalu.
Aku sering membayangkan betapa lucunya aku kala itu. Pacaranku dengan gadis tetanggaku adalah pacaran antara siswi kelas satu SMP denganku yang duduk di kelas tiga SMP. Pacaran kami berdua adalah pacaran dengan bareng-bareng turun ke sekolah yang kemudian berpisah di persimpangan jalan saling melambaikan tangan untuk menuju sekolah masing-masing. Pacaran kami adalah jalan bersama tanpa pegangan tangan, saling menjaga jarak. Pacaranku dengan dia adalah saling bercanda sambil belajar bersama.
Bila mengingat semua itu, aku jadi geli sendiri, senyum-senyum sendiri. Membayangkan pacaran model kami jaman itu yang tak ubahnya berteman saja, tak ada rasa cemburu, tanpa curiga. Perasaanku senang saja bila kami saling bertemu. Kalaupun beberapa hari aku tak ketemu dia, tak ada perasaanku khawatir, aku pikir paling-paling dia sibuk belajar sendiri atau membantu orangtuanya di rumah.
Pacaranku singkat, aku harus berpisah dari gadis tetanggaku itu. Aku lulus SMP, melanjutkan ke kota lain yang cukup jauh. Perpisahan kami tanpa kata putus, tanpa derai air mata, tanpa lambaian tangan mengiringi kepergianku, tanpa pelukan, tanpa apa-apa. Aku pergi begitu saja meninggalkannya. Aku pikir dia akan mengetahuinya dari orangtuaku nanti.
Di sekolahku yang baru, aku banyak dapat teman baru. Sesekali aku bisa juga ingat dia bila aku sedang sendiri menjelang tidur. Namun aku tak berlama-lama mengingatnya, sekolahku lebih penting dari apapun. Aku tak ingin mengecewakan orangtuaku yang sudah bersusah payah bekerja membiayaiku. “Bila sudah tiba masanya nanti dengan sendirinya aku bisa juga seperti orang yang sudah dewasa,” hiburku dalam hati sambil memejamkan mata.
“Pacarmu sudah diambil orang lain,” ungkap Edy ketika aku pulang kampung liburan sekolah.
“Biarlah. Aku kan sudah tak tinggal disini lagi,” sahutku datar.
“Kok begitu ? Kamu nggak cemburu ? Kamu nggak sakit hati ?” Cecar Edy.
“Nggak ! Dia bebas memilih,” balasku masih dengan suara datar.
Edy tampak heran mendengar jawabanku yang tanpa ekspresi apapun.
“Kamu sendiri gimana dengan pacarmu itu ?” Tanyaku.
“Aku masih,” jawab Edy.
Edy masih bersekolah satu kota dengan pacarnya, karena Edy baru naik ke kelas tiga SMP.
“Syukurlah kalo masih,” cetusku.
Kini setelah aku menikah dan memiliki anak, menjadi orangtua, aku justru lebih sering mengingat-ingat gadis tetangga itu. Aku tak tahu apakah itu pacar pertamaku, atau cinta pertamaku, tak penting buatku. Aku membayangkan seperti apa dia kini setelah sama-sama menjadi orangtua, apakah dia masih cantik.
Aku bertanya-tanya dalam hati, dimanakah dia kini gerangan, siapa dan bagaimana suaminya, anaknya sudah berapa, apakah bila kami bertemu masih saling kenal.
Entahlah, pertanyaan itu cuma kusimpan saja dalam hati. Kenangan itu biarlah kukubur saja dalam pikiran dan anganku. Aku tak terlalu berharap dapat ketemu dia lagi, namun jika Tuhan mempertemukan kami, terimakasih Tuhan, berarti Engkau mengijinkan aku menatap wajahnya yang sudah mulai menampakkan kerutan pastinya. (Imi Surya Putra)
“Dasar kamu aja ketinggalan, pacaran aja nggak tahu, tahunya cuma sekolah dan belajar aja,” Edy menyindirku dengan nada kecewa.
“Memangnya menurut kamu dia itu mau pacaran sama aku, gimana caranya ?” tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, wajah Edy berseri. “Tulis surat aja, nanti aku kasihkan ke dia lewat pacarku,” sahut Edy senang.
“Tapi aku juga belum pernah nulis surat untuk minta pacaran,” sahutku pula.
“Payah kamu, gitu aja nggak bisa, tulis aja sebisa kamu, atau nanti aku ajari,” tawar Edy sambil ngomel.
“Ya deh, terserah kamu aja gimana baiknya,” ujarku menyerah pada kemauan Edy yang tambah senang.
“Nah begitu, itu baru namanya sahabat. Jadinya aku ada teman pacaran,” kata Edy sambil ngajak tos tangan.
Itu kenangan yang tak pernah kulupa. Kenangan itu sudah melewati masa lebih dari 30 tahun lalu.
Aku sering membayangkan betapa lucunya aku kala itu. Pacaranku dengan gadis tetanggaku adalah pacaran antara siswi kelas satu SMP denganku yang duduk di kelas tiga SMP. Pacaran kami berdua adalah pacaran dengan bareng-bareng turun ke sekolah yang kemudian berpisah di persimpangan jalan saling melambaikan tangan untuk menuju sekolah masing-masing. Pacaran kami adalah jalan bersama tanpa pegangan tangan, saling menjaga jarak. Pacaranku dengan dia adalah saling bercanda sambil belajar bersama.
Bila mengingat semua itu, aku jadi geli sendiri, senyum-senyum sendiri. Membayangkan pacaran model kami jaman itu yang tak ubahnya berteman saja, tak ada rasa cemburu, tanpa curiga. Perasaanku senang saja bila kami saling bertemu. Kalaupun beberapa hari aku tak ketemu dia, tak ada perasaanku khawatir, aku pikir paling-paling dia sibuk belajar sendiri atau membantu orangtuanya di rumah.
Pacaranku singkat, aku harus berpisah dari gadis tetanggaku itu. Aku lulus SMP, melanjutkan ke kota lain yang cukup jauh. Perpisahan kami tanpa kata putus, tanpa derai air mata, tanpa lambaian tangan mengiringi kepergianku, tanpa pelukan, tanpa apa-apa. Aku pergi begitu saja meninggalkannya. Aku pikir dia akan mengetahuinya dari orangtuaku nanti.
Di sekolahku yang baru, aku banyak dapat teman baru. Sesekali aku bisa juga ingat dia bila aku sedang sendiri menjelang tidur. Namun aku tak berlama-lama mengingatnya, sekolahku lebih penting dari apapun. Aku tak ingin mengecewakan orangtuaku yang sudah bersusah payah bekerja membiayaiku. “Bila sudah tiba masanya nanti dengan sendirinya aku bisa juga seperti orang yang sudah dewasa,” hiburku dalam hati sambil memejamkan mata.
“Pacarmu sudah diambil orang lain,” ungkap Edy ketika aku pulang kampung liburan sekolah.
“Biarlah. Aku kan sudah tak tinggal disini lagi,” sahutku datar.
“Kok begitu ? Kamu nggak cemburu ? Kamu nggak sakit hati ?” Cecar Edy.
“Nggak ! Dia bebas memilih,” balasku masih dengan suara datar.
Edy tampak heran mendengar jawabanku yang tanpa ekspresi apapun.
“Kamu sendiri gimana dengan pacarmu itu ?” Tanyaku.
“Aku masih,” jawab Edy.
Edy masih bersekolah satu kota dengan pacarnya, karena Edy baru naik ke kelas tiga SMP.
“Syukurlah kalo masih,” cetusku.
Kini setelah aku menikah dan memiliki anak, menjadi orangtua, aku justru lebih sering mengingat-ingat gadis tetangga itu. Aku tak tahu apakah itu pacar pertamaku, atau cinta pertamaku, tak penting buatku. Aku membayangkan seperti apa dia kini setelah sama-sama menjadi orangtua, apakah dia masih cantik.
Aku bertanya-tanya dalam hati, dimanakah dia kini gerangan, siapa dan bagaimana suaminya, anaknya sudah berapa, apakah bila kami bertemu masih saling kenal.
Entahlah, pertanyaan itu cuma kusimpan saja dalam hati. Kenangan itu biarlah kukubur saja dalam pikiran dan anganku. Aku tak terlalu berharap dapat ketemu dia lagi, namun jika Tuhan mempertemukan kami, terimakasih Tuhan, berarti Engkau mengijinkan aku menatap wajahnya yang sudah mulai menampakkan kerutan pastinya. (Imi Surya Putra)
*Jika terdapat kesamaan nama, karakter maupun tempat itu hanyalah kebetulan saja, karena tulisan ini fiktif ataupun fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.