Cerpen | (Maybe) The Right Man On (Maybe) The Right Place - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Sabtu, 23 Juli 2022

    Cerpen | (Maybe) The Right Man On (Maybe) The Right Place

    ilustrasi
    “The right man on the right place”, orang yang benar ditempatkan pada tempat yang benar.
    Kalimat ini yang selalu kuingat hingga kini, kudapat ketika aku duduk di SLTA puluhan tahun silam, yang diucapkan oleh guru ekonomi kami. Namun kalimat ini belum tentu sepenuhnya benar, karena tak sedikit yang bertolak belakang disebabkan “learning by doing”.

    “Lebih baik memelihara seekor buaya ganas daripada memelihara dia,” cetus Malik kepadaku.
    “Kamu pikir akan mampu membuat dia menjadi baik ?” sambung Malik dengan dahi mengernyit.
    “Dia kan manusia, binatang saja bisa dididik jadi baik bila dilakukan dengan pelan-pelan,” sahutku berdalih.

    Itulah percakapanku belasan tahun lalu dengan Malik, temanku yang kini sudah menjadi seorang pengusaha sukses.
    Waktu itu seorang teman kami sedang menunggu di teras kantor untuk bisa diterima berkerja di penggergajian kayu yang kukelola bersama Malik.

    Munir adalah teman lamaku dan Malik saat kami masih bujangan, suka begadang dan main gitar di tepi jalan di kota kami.
    Munir yang temperamen, suka bertengkar dan berkelahi dengan siapapun yang ia anggap menghalangi keinginannya.

    “Tolong deh beri aku pekerjaan disini. Aku butuh kerja untuk menghidupi keluargaku. Kerjaan apa saja disini aku mau, dan menurut apa aturan kalian,” rengek Munir memelas.
    “Akan aku usahakan. Masalahnya yang jadi bos disini Malik, aku cuma dipercaya sebagai pengelola,” ungkapku ke Munir lirih.

    Atas upaya kerasku membujuk, akhirnya Malik bersedia menerima Munir berkerja sebagai pengawas para penebang kayu di hutan.
    Dengan diterimanya Munir berkerja bergabung dengan kami, ini menjadi beban moralku, menjamin Munir agar benar-benar berubah baik.

    Malik, Aku dan Munir pun kumpul menjadi satu tim kerja di satu desa kecil di pelosok pulau Kalimantan. Hanya saja Malik adalah pemilik modal dan usaha, Aku sebagai pengelola, dan Munir sebagai pekerja yang digaji sesuai pekerjaannya.
    Kami sempat kumpul bareng selama lebih dari 2 tahun, sebelum usaha di bidang perkayuan itu terhenti karena kesulitan bahan baku. Kami pun berpisah, Malik pulang ke kota tempat tinggalnya di satu ibukota propinsi. Aku pulang kampung mencari pekerjaan dimana sedang marak aktivitas pertambangan batubara, sedangkan Munir tetap tinggal di desa itu karena tak punya pilihan selain tetap berada disana ikut kerja di kebun sawit.

    Beberapa bulan lalu, kurang dari setahun, kembali Munir menemuiku setelah kami lama berpisah. Ia datang minta tolong agar dicarikan kerja.

    “Aku tak kuat berkerja di kebun, gajinya tak mencukupi,” cerita Munir datar.
    “Kamu sudah sempat menemui Malik, ia sekarang sudah sukses jadi bos,” kataku ke Munir.
    “Sudah, katanya belum ada pekerjaan yang cocok buatku. Ia hanya memberi sejumlah uang,” jawab Munir datar.

    Sebetulnya aku ingin sekali memberikan pekerjaan ke Munir. Tapi aku belum yakin ia bisa cepat beradaptasi dengan pekerjaan yang sama sekali asing baginya, mengandalkan intelektualitas. Disamping itu pendidikan Munir yang tak menunjang bila ikut berkerja bersamaku.

    “Aku sebenarnya ingin mengajakmu berkerja, tapi aku tak yakin apakah pekerjaan ini bisa kamu kerjakan,” ujarku tanpa menyebut jenis pekerjaannya.
    Tampak wajah Munir kecewa mendengar jawabanku yang mungkin tak disangkanya.
    “Sabarlah dulu, aku akan mempertimbangkan sesuatunya apakah pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang sepertimu,” kataku agar ia penasaran.
    “Pekerjaan apa saja yang penting bukan pekerjaan seperti di kebun sawit,” ujar Munir mencoba ingin mengetahui pekerjaan apa.
    “Sabar aja, nanti bila sudah waktunya kau akan tahu jenis pekerjaan itu,” ujarku lagi sambil memberinya beberapa lembar ratusan ribu.
    “Okelah, kalau begitu aku permisi,” ujar Munir pamit dengan menyimpan rasa penasarannya.

    Penolakanku secara halus terhadap Munir bukan karena aku tak ingin menolongnya, tapi ingin agar ia berusaha untuk merubah dirinya tanpa pertolongan teman. Dalam bathin aku berharap Munir memahami maksudku, berusaha dengan jalannya sendiri untuk merubah hidupnya.

    Lebih dari sebulan sejak kedatangannya ke tempatku itu, Munir kembali datang.

    “Aku tak punya upaya dan pilihan lain selain minta bantuanmu. Kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu,” ungkap Munir.
    “Berarti kamu pikir mampu melakukan pekerjaan sepertiku ?” tanyaku.
    “Mampu atau tidak belum bisa dibuktikan bila belum dicoba,” sahutnya mencoba meyakinkanku.
    “Baiklah, kamu datang lagi besok, aku akan persiapkan sesuatunya agar kamu dapat mulai berkerja,” balasku.

    Sepeninggal Munir, aku jadi berpikir apakah aku mampu memperkerjakan orang yang pendidikannya cuma setingkat SLTP dengan sifat temperamen pula. Aku berpikir keras mencari pola dan cara agar Munir bisa melakukan pekerjaan seperti yang kulakukan beberapa tahun terakhir ini.

    “Aku mesti mendidiknya dari dasar agar ia tak menjadi bebanku terus menerus. Ia mesti menguasai pekerjaannya nanti dengan baik,” kataku dalam hati.

    Aku memutuskan menerima Munir untuk mengisi kekosongan peliputan di satu kecamatan yang dikenal selama ini menjadi pusat kegiatan penambangan dan penebangan kayu ilegal. Pertimbanganku menempatkannya disana adalah, sifat Munir pemberani dan temperamen, serta berani mengutarakan pembicaraan. Sebagai Pemimpin Redaksi di satu media pemberitaan lokal yang cukup dikenal, dengan mudah aku bisa menerima siapa saja yang kukehendaki tanpa banyak persyaratan formal.

    Apa yang kukhawatirkan dari seorang Munir ternyata tak terbukti, bahkan sebaliknya menjadi sesuatu yang mengejutkan. Munir dalam beberapa bulan setelah berkerja padaku, melejit cepat, dikenal oleh banyak pejabat dan pengusaha di tempatnya bertugas. Dengan demikian berarti media kami pun ikut tambah terangkat ke permukaan.
    Seiring dengan makin dikenalnya sosok Munir, berdampak pula kepada kondisi ekonomi keluarganya yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

    “Halo, apakah saya sedang bicara dengan pak Rahmat, Pemred tabloid Independen ?” tanya suara seseorang yang menelponku.
    “Benar, bapak siapa, dapat nomor saya dari mana ?” balasku.
    “Saya dari PT. Lekas Maju, saya dapat nomor ini dari Munir, pak,” sahut si penelpon.
    “Ada yang bisa saya bantu, pak ?” tanyaku lagi.
    “Saya sudah ada pembicaraan sebelumnya dengan Munir, anak buah bapak. Perusahaan saya bermaksud memasang iklan, dan kerjasama publikasi atas berbagai kegiatan sosial dan promosi perusahaan,” ungkap si penelpon.
    “Baiklah, nanti kita ketemu langsung saja untuk membahas masalah itu,” ujarku.
    “Terimakasih pak, nanti kita saling kontak saja,” balas si penelpon yang tak sempat menyebut namanya itu seraya menutup pembicaraan. (Imi Surya Putra)

    *Kesamaan tempat, lokasi, nama dan karakter hanyalah kebetulan, Cerpen ini hanyalah fiksi.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...