Cerpen | Ku Takkan Jatuh Cinta Lagi - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Rabu, 27 Juli 2022

    Cerpen | Ku Takkan Jatuh Cinta Lagi

    Rasanya mau kutampar, kucakar mukanya yang cantik itu, kemudian kuludahi sepuas hatiku, lalu tubuhnya yang sintal itu kuinjak-injak seperti bangkai tikus.

    Hatiku sangat geram dan sakit, ketika dari mulutnya yang mungil itu keluar kalimat penolakan atas cintaku. Perasaan cintaku yang selama ini kupendam terhadap Rusminah, kandas dan karam seperti bangkai kapal Titanic. 

    “Maaf mas, aku sudah memiliki seorang kekasih,” ungkap Rusminah datar tanpa ekspresi, suatu sore ketika aku bertamu ke kost-nya.

    Aku bagai disengat ribuan semut marabunta usai mendengar kalimat penolakan Rusminah atas cintaku. Rasanya untuk mengangkat wajah dan memandang paras cantik Rusminah saja, aku hampir-hampir tak kuat. 

    “Baiklah, cinta memang tak dipaksakan, dan tak mesti memiliki,” kataku tercekat.

    Kupikir tak lagi perlu berlama-lama di tempat kost Rusminah, aku pamit pulang. Aku ingin secepatnya menjauh dari Rusminah untuk bisa melampiaskan perasaan sakit dan terluka hatiku kepada apa dan siapa saja.

    Tak tahu harus kemana langkah ini kuarahkan. Aku tak mungkin pulang ke rumah membawa luka hati ini. Ku terus berjalan menyusuri trotoar sambil menunduk tanpa menghiraukan para pejalan kaki lainnya. Karena berjalan sambil menunduk, beberapa kali hampir menabrak orang. 

    “Kalau jalan itu pakai mata, jalan sambil melamun !” bentak seorang ibu-ibu setengah tua yang hampir kutabrak.

    Ku acuhkan saja makian ibu itu, ku terus saja berjalan menyusuri trotoar tanpa arah.

    Pikiranku menerawang kemana-mana, bercampur aduk; sedih, kecewa, terluka, dendam. Ingin rasanya aku berlari ke hutan luas yang sepi, lalu disana berteriak sekeras-kerasnya sambil mengatakan dunia ini sudah tak berlaku adil terhadapku.

    Entah seberapa jauh aku menyusuri trotoar, hingga aku berhenti di satu bangku di bawah sebatang pohon di halaman satu kantor pemerintah.
    Aku pun memutuskan untuk duduk di bangku itu yang kebetulan sedang kosong. Ku ambil sebatanng rokok dan kusulut, asapnya kusedot kuat-kuat lalu kuhembuskan dengan segenap perasaanku. Kali ini aku merasakan tidak nikmatnya merokok. Aku seperti mengisap sebatang rotan kering yang terbakar, pahit, asapnya mencekat di tenggorokan. Belum sampai separo batang kuisap, rokok kujatuhkan di dekat kaki, kuinjak hingga padam apinya.

    Aku bersandar di bangku yang terbuat dari kayu ulin itu. Kutengadahkan wajahku ke atas sambil memejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan sambil membayangkan wajah manis Rusminah yang seolah sedang mengejekku.

    Rusminah, mahasiswa akademi kebidanan semester 3 di kotaku, sejak pertama kali kumengenalnya, aku sudah tertarik, dan jatuh hati. Pembawaannya yang kalem meski tak sampai keibuan, membuatku semakin tertarik. Gaya bicaranya yang lembut, hati-hati dan sopan, membuatku menjatuhkan pilihan padanya.
    Bagiku Rusminah bukan lagi seorang manusia, tapi bidadari yang dikirim Tuhan ke bumi untukku.

    Ku kenal Rusminah ketika aku ikut berkerja memperbesar bangunan Akademi Kebidanan dimana Rusminah kuliah, beberapa bulan lalu.
    Ku sering ketemu Rusminah saat sarapan pagi, atau pada jam makan siang di kantin samping bangunan Akademi. Kami sering mengobrol apa saja sambil menyantap makanan. Rusminah yang tidak sombong selalu melayani siapa saja yang mengajaknya bicara, tak cuma aku. Namun aku lah yang sering bertemu dan mengobrol dengan Rusminah.
    Saat-saat untuk terus dapat bertemu dan mengobrol dengan Rusminah di kantin, selalu kutunggu. Bagiku menunggu Rusminah muncul di kantin bukanlah hal yang membosankan. Pikirku lebih baik menunggu meski lama daripada tak ketemu Rusminah.
    Meski pekerjaanku telah selesai di tempat Rusminah kuliah. Aku selalu menyempatkan diri untuk pergi dan menunggu Rusminah di kantin itu.
    Hingga pada suatu ketika kuungkapkan niat dan keinginanku untuk berkunjung ke tempat kost Rusminah.

    “Datang aja, mas. Tapi nanti setelah pulang kuliah. Mas Rahman mau apa gerangan ke tempat saya ?” tanya Rusminah sambil menatapku sedikit heran.
    “Ada deh. Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu,” jawabku agak gugup.
    “Okelah, mas. Datang aja nanti,” kata Rusminah datar.

    Kutersadar setelah cukup lama menerawang bersama bayangan Rusminah di pikiranku. Mulutku terasa masam, ku kembali menyulut sebatang rokok. Kali ini kucoba menikmati rokok seperti biasanya, namun tetap saja terasa pahit. Kujatuhkan kembali puntung rokok yang masih panjang itu di dekat kakiku. Beberapa kali kusulut rokok baru, rasanya selalu tetap pahit, sehingga bungkus rokok kosong. Kuarahkan pandanganku ke dekat kakiku, kuhitung, disana ada sebelas puntung rokok yang masih panjang-panjang. Bungkus rokok yang sudah kosong itu kuremas sekuat-kuatnya hingga lepek, kubayangkan seolah sedang meremas muka Rusminah yang telah melukai hati dan perasaanku.

    Rusminah………, mulai saat ini aku benci kamu. Kamu jahat, kamu jelek, kamu setan…………
    Apakah karena aku belum memiliki sepeda motor sehingga kamu menolak cintaku ? Apakah karena aku ini cuma seorang buruh bangunan serabutan, lalu kau serahkan cintamu ke pria lain ?
    Rusminah, kamu tidak tahu isi dalam hatiku, aku sangat mendambakanmu. Aku rela kau suruh apa saja asal kau terima cintaku.

    “Hooooiiiiii, stop melamun !” sebuah suara yang cukup kukenal mengagetkanku.
    Ku menoleh ke belakang, ternyata Arman, temanku sesama buruh bangunan yang entah datang dari mana.

    “Ngapain kamu disini, seperti orang lari dari rumah aja ?” tanya Arman.
    “Lagi suntuk aja, kamu dari mana juga ?” aku balik tanya.
    “Aku kebetulan aja lewat sini dari jalan-jalan sambil cari order kerjaan baru,” sahut Arman.
    “Pulang yuk,” ajakku lesu ke Arman.

    Kami berdua pun meninggalkan bangku dimana aku duduk merenung dan melamun cukup lama.
    Matahari senja di musim kemarau sudah hampir mendekati ufuk barat. Sinarnya yang jingga keemasan semburat indah. Namun keindahan apapun kali ini tak lagi menjadi indah di mataku. Semua keindahan itu telah terkubur bersama cintaku yang kandas dan karam.
    Dalam perjalanan pulang, bathinku bertekad, aku tak kan mudah lagi jatuh cinta. (Imi Surya Putra)

    *Kesamaan nama, tokoh, tempat, lokasi, pekerjaan, dan karakter hanyalah kebetulah semata, ini adalah fiktif.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...