Meja terbuat dari kayu kuku (sejenis jati) itu bergetar oleh gebrakan tangan sang Kepala Desa.
Hampir saja aku terlompat dari tempat dudukku.
Kepala Desa yang kukonfirmasi sangat berang setelah menyimak pertanyaanku terkait pungutan jalan terhadap truk-truk bermuatan hasil tambang dan kebun yang lewat di depan kantor desa.
Temanku, wartawan dari satu koran lokal yang menyertaiku, yang duduk bersebelahan denganku, wajahnya langsung pucat.
Siang itu aku dan temanku, Riadi mendatangi kediaman Kepala Desa, Ardian yang sebelum jadi orang nomor satu di desanya, dikenal sebagai preman yang menguasai pasar dan terminal.
“Memangnya ada apa kalian menanyakan masalah pungutan itu ?” suara Kades Ardian agak bergetar masih menahan kegeramannya terhadap kami.
“Adalah menjadi tugas kami sebagai wartawan untuk menanyakan sesuatu hal yang tak berdasar dan menyangkut orang banyak,” jawabku datar.
“Supaya kalian ketahui, sudah puluhan wartawan yang datang ke tempatku ini, tapi tak satu pun yang menanyakan seperti yang kalian tanyakan itu. Mereka datang cuma minta tolong uang bensin,” ungkap Kades masih geram.
“Bapak tak bisa menyamakan kami begitu saja dengan mereka,” tangkisku memberanikan diri, sementara Riadi cuma diam menyimak.
Sambil menyulut rokoknya, Kades yang memang dikenal temperamen itu pun melanjutkan, “sama saja kalian ini dengan wartawan lainnya itu, yang ujung-ujungnya juga ingin duit, hanya saja tak mau dapat sedikit,” ketus Kades sambil mengisap rokoknya.
Betapa dongkol hatiku mendengar kata-kata Kades yang rupanya masih berlagak preman ini.
“Baiklah, bila bapak tak bersedia memberikan jawaban atas konfirmasi kami ini, kami permisi saja,” ujarku akhirnya sambil bangkit dari tempat duduk.
Kami berdua pun permisi meninggalkan rumah Kades dengan perasaan dongkol bercampur takut. Dongkol karena tak berhasil mendapat perlakuan dan jawaban yang diharapkan. Takut, membayangkan bila si Kades mengirim “orang-orangnya” untuk mencelakai kami.
“Gimana ini, Wan ?” Tanya Riadi.
“Apanya yang gimana ?” Aku balik tanya.
“Maksudku jika si Kades gendeng itu mencelakai kita melalui anak buahnya yang kebanyakan para preman itu ?” tanya Riadi lagi.
“Terserah dan pasrah aja, urusan mau celaka atau mati, serahkan aja ke Tuhan,” balasku sekenanya asal jawab. Padahal aku juga sedang membayangkan apa yang sedang dibayangkan Riadi temanku.
Kami berdua sedang menunggu pesanan makan siang di satu warung tak jauh dari kantor desa, ketika ponselku berdering. Aku melihat yang menelpon adalah Kades Ardian.
“Aku tunggu di kantor desa,” suara Kades.
“Baik pak, tapi setelah selesai makan,” jawabku.
“Oke, saya tunggu,” sahut Kades.
“Selesai makan ini kita diminta Kades datang ke kantornya,” kataku ke Riadi.
“Mau apa lagi Kades sedeng itu ?” tanya Riadi.
“Nggak tahu juga, kita kesana aja biar tahu apa maunya tuh orang,” balasku.
“Jangan-jangan disana kita dapat sport jantung lagi,” ujar Riadi khawatir.
Beberapa saat kemudian kami pun sudah berada di Kantor Desa. Kami diterima di ruang kerja Kades yang cukup representatif. Ruang kerja yang cukup luas, meja kursi kerja berukir jepara, sofa untuk tamu yang dibalut kain beludru, dilengkapi lemari es, televisi layar datar ukuran 34 inchi.
Tampaknya Kades sudah agak bisa menguasai emosinya. Itu tampak dari roman mukanya yang tak tegang lagi.
“Silakan minum,” tawar Kades sambil meletakkan dua botol teh yang barusan ia ambil dari dalam lemari es.
“Terima kasih, pak,” ujarku.
Aku pun meraih teh botol di depanku, diikuti oleh Riadi.
Tenggorokanku terasa dingin dan lega usai menenggak minuman dingin itu.
“Maksud saya memanggil kalian, mau minta maaf atas kejadian di rumah tadi. Saya emosi oleh pertanyaan kalian. Dan saya minta masalah ini lupakan saja. Saya berharap agar kita dapat menjalin hubungan baik,” ungkap Kades.
“Ya, kami pun selalu berharap dapat membina hubungan baik dengan siapa saja,” balasku.
Di akhir pertemuan dengan Kades itu, ia mengangsurkan 2 amplop kepadaku, namun kuarahkan Riadi yang menerimanya.
“Nggak tahu juga, kita kesana aja biar tahu apa maunya tuh orang,” balasku.
“Jangan-jangan disana kita dapat sport jantung lagi,” ujar Riadi khawatir.
Beberapa saat kemudian kami pun sudah berada di Kantor Desa. Kami diterima di ruang kerja Kades yang cukup representatif. Ruang kerja yang cukup luas, meja kursi kerja berukir jepara, sofa untuk tamu yang dibalut kain beludru, dilengkapi lemari es, televisi layar datar ukuran 34 inchi.
Tampaknya Kades sudah agak bisa menguasai emosinya. Itu tampak dari roman mukanya yang tak tegang lagi.
“Silakan minum,” tawar Kades sambil meletakkan dua botol teh yang barusan ia ambil dari dalam lemari es.
“Terima kasih, pak,” ujarku.
Aku pun meraih teh botol di depanku, diikuti oleh Riadi.
Tenggorokanku terasa dingin dan lega usai menenggak minuman dingin itu.
“Maksud saya memanggil kalian, mau minta maaf atas kejadian di rumah tadi. Saya emosi oleh pertanyaan kalian. Dan saya minta masalah ini lupakan saja. Saya berharap agar kita dapat menjalin hubungan baik,” ungkap Kades.
“Ya, kami pun selalu berharap dapat membina hubungan baik dengan siapa saja,” balasku.
Di akhir pertemuan dengan Kades itu, ia mengangsurkan 2 amplop kepadaku, namun kuarahkan Riadi yang menerimanya.
“Kapan-kapan kalau kesini lagi kasih tahu saya melalui telpon. Jangan dilihat berapa nilai pemberian saya, tapi hubungan baiknya,” ujar Kades seraya menyalami kami.
Kades Ardian memimpin desa yang wilayahnya berada di pusat kecamatan yang dilalui oleh jalan raya. Setiap malam jalan umum itu ramai dilewati oleh truk pengangkut batubara dan sawit. Oleh pihak pemerintahan desa yang dikepalai oleh Ardian, truk-truk itu dipungut biaya lewat yang nilainya belasan ribu rupiah, dengan dalih sebagai pendapatan desa. Menurut warga setempat dalam semalam ratusan unit truk melintas yang wajib bayar ke pihak desa.
Aku jadi membayangkan jutaan rupiah setiap harinya yang berhasil dipungut dari truk-truk itu.
Kades Ardian memimpin desa yang wilayahnya berada di pusat kecamatan yang dilalui oleh jalan raya. Setiap malam jalan umum itu ramai dilewati oleh truk pengangkut batubara dan sawit. Oleh pihak pemerintahan desa yang dikepalai oleh Ardian, truk-truk itu dipungut biaya lewat yang nilainya belasan ribu rupiah, dengan dalih sebagai pendapatan desa. Menurut warga setempat dalam semalam ratusan unit truk melintas yang wajib bayar ke pihak desa.
Aku jadi membayangkan jutaan rupiah setiap harinya yang berhasil dipungut dari truk-truk itu.
“Pantas Kades bisa membeli mobil yang lumayan mahal. Sementara aku, sepeda motor pun belum dapat beli,” bathinku.
Sejak truk-truk batubara dan sawit itu bebas lewat jalan umum setiap malam, warga yang bertempat tinggal di tepi jalan, banyak yang mengeluh oleh debu. Selain itu jalan umum pun sering macet.
Inilah yang mendorong aku dan Riadi menyambangi Kades Ardian.
Aku dan Riadi memutuskan pulang ke tempat kami tinggal yang jaraknya hampir seratus kilometer dari desa yang kami sambangi.
Di tengah perjalanan aku meminta Riadi berhenti dan menepi. Aku cuma ingin tahu berapa isi amplop yang diberikan Kades Ardian kepada kami.
Sejak truk-truk batubara dan sawit itu bebas lewat jalan umum setiap malam, warga yang bertempat tinggal di tepi jalan, banyak yang mengeluh oleh debu. Selain itu jalan umum pun sering macet.
Inilah yang mendorong aku dan Riadi menyambangi Kades Ardian.
Aku dan Riadi memutuskan pulang ke tempat kami tinggal yang jaraknya hampir seratus kilometer dari desa yang kami sambangi.
Di tengah perjalanan aku meminta Riadi berhenti dan menepi. Aku cuma ingin tahu berapa isi amplop yang diberikan Kades Ardian kepada kami.
“Coba dibuka amplopnya,” pintaku ke Riadi.
“Satu amplop isinya 500 ribu, Wan,” kata Riadi sambil menyerahkan amplop bagianku.
“Lumayan untuk konpensasi ketegangan atas sikap Kades itu ke kita,” ujar Riadi dengan senyum setelah beberapa saat lalu tegang.
Aku cuma mengangguk sambil memasukkan amplop ke saku celana.
Dalam perjalanan pulang, aku yang diboceng Riadi, mengingat-ingat pekerjaan yang sudah kujalani selama hampir 4 tahun ini. Berkerja sebagai seorang wartawan di satu koran luar daerah yang terbit setiap minggu.
Koran tempatku berkerja tak sepeser pun memberikan gaji, tak ada apa-apa. Seluruh peralatan kerja harus kusediakan sendiri. Bahkan aku membayar semacam uang deposit yang nilainya cukup besar ketika aku menyatakan bergabung dengan koran itu. Aku pun memiliki kewajiban membayar biaya koran yang dikirimkan kepadaku setiap minggu sebanyak puluhan eksemplar. Yang kudapat dari pengelola koran itu cuma ID card dan surat tugas sebagai seorang wartawan.
Kadang kupikir betapa aku telah dibodohi oleh perusahaan koran tempatku bekerja.
“Satu amplop isinya 500 ribu, Wan,” kata Riadi sambil menyerahkan amplop bagianku.
“Lumayan untuk konpensasi ketegangan atas sikap Kades itu ke kita,” ujar Riadi dengan senyum setelah beberapa saat lalu tegang.
Aku cuma mengangguk sambil memasukkan amplop ke saku celana.
Dalam perjalanan pulang, aku yang diboceng Riadi, mengingat-ingat pekerjaan yang sudah kujalani selama hampir 4 tahun ini. Berkerja sebagai seorang wartawan di satu koran luar daerah yang terbit setiap minggu.
Koran tempatku berkerja tak sepeser pun memberikan gaji, tak ada apa-apa. Seluruh peralatan kerja harus kusediakan sendiri. Bahkan aku membayar semacam uang deposit yang nilainya cukup besar ketika aku menyatakan bergabung dengan koran itu. Aku pun memiliki kewajiban membayar biaya koran yang dikirimkan kepadaku setiap minggu sebanyak puluhan eksemplar. Yang kudapat dari pengelola koran itu cuma ID card dan surat tugas sebagai seorang wartawan.
Kadang kupikir betapa aku telah dibodohi oleh perusahaan koran tempatku bekerja.
“ID card dan surat yang kamu pegang itu sudah lebih daripada gaji. Itu senjata kamu menghasilkan uang. Jangan pernah memeras untuk mendapat uang, meremas boleh,” kata Pemred-ku pada suatu kesempatan aku bertandang ke kantor redaksi yang harus kutempuh dengan naik pesawat.
Tuntutan hidup mengharuskan aku untuk tetap bisa mencari uang dengan caraku, cara seorang wartawan tanpa gaji.
Tak jarang apa yang kulakukan bertentangan dengan rasa idealisme yang masih kumiliki meski sedikit. Namun pekerjaan yang sudah membuatku dapat menghasilkan uang bertahun-tahun ini, tak gampang kulepas begitu saja.
Entah sampai kapan aku mesti mencari uang dengan caraku ini, mengancam, mengintimidasi, manakut-nakuti, atau sok membantu, aku belum memikirkannya, kujalani saja…………. (Imi Surya Putra)
Tuntutan hidup mengharuskan aku untuk tetap bisa mencari uang dengan caraku, cara seorang wartawan tanpa gaji.
Tak jarang apa yang kulakukan bertentangan dengan rasa idealisme yang masih kumiliki meski sedikit. Namun pekerjaan yang sudah membuatku dapat menghasilkan uang bertahun-tahun ini, tak gampang kulepas begitu saja.
Entah sampai kapan aku mesti mencari uang dengan caraku ini, mengancam, mengintimidasi, manakut-nakuti, atau sok membantu, aku belum memikirkannya, kujalani saja…………. (Imi Surya Putra)
*Kesamaan nama, pekerjaan, tempat, lokasi dan karakter hanyalah kebetulan saja, semuanya hanyalah fiktif belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.