Inah mengalihkan pandangannya ke arah lain, hamparan pohon-pohon karet diselingi perdu dan semak belukar.
Ingin rasanya Inah meratap, menangis sesenggukan, atau bahkan berteriak sekerasnya mengadukan nasib yang dialaminya kini ke gunung itu, ke pepohonan itu, ke semak belukar……….
Tak pernah terbersit dalam pikiran Inah apalagi menyangka hidupnya bakal berada di sebuah barak tempat pelacuran yang berjarak belasan kilometer dari pusat kota.
Kumpulan puluhan barak itu berderet membentuk satu pemukiman setara dengan desa kecil. Disini suasananya selalu ramai ; hingar bingar oleh dentuman suara musik dari peralatan audio visual, aroma parfum murahan bercampur minuman keras, dan tawa berderai. Disini seolah tak kenal kesedihan.
Segala hiruk pikuk dan keceriaan di permukiman dimana kini Inah berada, tak mampu menepis segala kesedihan, kepedihan dan kegundahan hatinya.
Tak habis-habisnya Inah meratapi nasibnya, atau mungkin juga ini semacam kesialan dalam kehidupannya.
Terbayangkan pula caci maki, sumpah serapah, berbagai hujatan dari siapa saja yang membenci pekerjaannya, menjual tubuh, kenikmatan sesaat, yang sudah tak terhitung telah banyak menuai akibat buruk bagi banyak orang lain.
Hari ini Inah sudah melayani 3 orang tamu di tempat tidurnya yang lepek dilapisi seprei kumal dan kusam. Ia pun sebelumnya sempat menemani beberapa tamunya berkaraoke sambil menenggak bir. Hingga menjelang tengah malam, Inah baru mendapat waktu luang untuk sekedar melepas kelelahan. Tubuhnya penat, jiwanya terlebih sangat menderita.
Inah tergolek di pembaringan, diatas kasur busa tipis setipis imannya kini. Ia pandangi langit-langit bilik yang dilapisi terpal usang berwarna biru, sebiru perasaannya yang mengharu biru oleh penderitaan dan penyesalan.
Meski tubuhnya penat, kepala agak berat sehabis ikut menenggak bir, mata Inah enggan terpejam. Benaknya jauh menerawang melintasi gunung, pepohonan, awan, melambung tinggi tanpa batas. Pikirannya tak tentu arah………..
Hampir 4 bulan lalu Inah masih merupakan ibu rumah tangga dengan seorang anak berumur sekitar 6 tahun yang hidup di pelosok satu desa di pulau jawa. Perpisahan dengan suaminya, Slamet yang kepincut janda kembang, membuat kehidupannya berubah drastis. Inah yang berasal dari keluarga miskin, harus memelihara dan membiayai anak semata wayangnya, juga ikut membantu 2 orang adiknya yang masih sekolah, pun membantu kehidupan orantuanya yang cuma buruh tani.
Slamet, suami Inah sudah tak diketahui entah kemana bersama Narti seorang janda kembang dari desa tetangga, tak peduli lagi dengan anak dan keluarganya.
Tanggungjawab yang cukup berat untuk menghidupi anak dan ikut membantu keluarganya, membuat Inah menerima tawaran tetangganya, Muji yang menawarinya kerja sebagai penjaga warung di Kalimantan.
Inah tak pernah curiga apalagi menyangka bakal ditipu oleh Muji yang di desanya dikenal sering bolak balik ke perantauan. Bujukan penghasilan bulanan yang lumayan besar, membuat Inah setuju mengikuti Muji. Kepergian Inah dari desanya pun diantar oleh doa dan deraian air mata keluarganya.
Di tempat tujuan, mula-mula Muji menempatkan Inah di satu warung yang berada di lokasi pelacuran itu. Sementara itu Muji pergi menghilang entah kemana. Namun beberapa hari kemudian datang seseorang menjemput Inah sambil memperlihatkan bukti-bukti pengambilan uang oleh Muji dengan jaminan atas nama Inah. Meski bersikeras, akhirnya Inah dengan terpaksa harus menuruti dan mengikuti kemauan si penjemputnya.
Jika mengingat itu Inah tak henti-hentinya kembali menyesali kebodohannya yang telah ditipu Muji. Ia tak pernah menduga dirinya telah dijual oleh tetangganya itu. Malang tak dapat ditolak, untung pun tak bisa diraih, Inah pun pasrah dengan keadaannya kini.
Setelah beberapa hari dengan pekerjaan barunya itu, Inah mulai agak melupakan kebodohannya, dan mulai terbiasa menerima keadaan pekerjaannya. Ini karena mengetahui keadaan yang sama juga dialami oleh beberapa temannya di barak itu.
Meski di tempat itu tampak tak ada kesedihan, namun jauh di lubuk hati Inah yang paling dalam, ia menangis sendu, ingat anak, keluarga, dan dosa atas perbuatannya. Ia bertekad kembali ke jalan yang benar bila sudah dapat menebus dirinya, dan keluar dari lembah hitam itu.
Hentakan musik berirama keras masih terdengar kencang meski malam sudah sangat larut. Inah sedang tergolek di dipan setelah melayani tamu ke-5. Matanya menatap atap daun nipah yang membayang muka anaknya, adik dan orangtuanya.
(Catatan kisah ini cuma rekaan. Kesamaan karakter, nama tokoh & tempat hanyalah kebetulan saja)
Hampir 4 bulan lalu Inah masih merupakan ibu rumah tangga dengan seorang anak berumur sekitar 6 tahun yang hidup di pelosok satu desa di pulau jawa. Perpisahan dengan suaminya, Slamet yang kepincut janda kembang, membuat kehidupannya berubah drastis. Inah yang berasal dari keluarga miskin, harus memelihara dan membiayai anak semata wayangnya, juga ikut membantu 2 orang adiknya yang masih sekolah, pun membantu kehidupan orantuanya yang cuma buruh tani.
Slamet, suami Inah sudah tak diketahui entah kemana bersama Narti seorang janda kembang dari desa tetangga, tak peduli lagi dengan anak dan keluarganya.
Tanggungjawab yang cukup berat untuk menghidupi anak dan ikut membantu keluarganya, membuat Inah menerima tawaran tetangganya, Muji yang menawarinya kerja sebagai penjaga warung di Kalimantan.
Inah tak pernah curiga apalagi menyangka bakal ditipu oleh Muji yang di desanya dikenal sering bolak balik ke perantauan. Bujukan penghasilan bulanan yang lumayan besar, membuat Inah setuju mengikuti Muji. Kepergian Inah dari desanya pun diantar oleh doa dan deraian air mata keluarganya.
Di tempat tujuan, mula-mula Muji menempatkan Inah di satu warung yang berada di lokasi pelacuran itu. Sementara itu Muji pergi menghilang entah kemana. Namun beberapa hari kemudian datang seseorang menjemput Inah sambil memperlihatkan bukti-bukti pengambilan uang oleh Muji dengan jaminan atas nama Inah. Meski bersikeras, akhirnya Inah dengan terpaksa harus menuruti dan mengikuti kemauan si penjemputnya.
Jika mengingat itu Inah tak henti-hentinya kembali menyesali kebodohannya yang telah ditipu Muji. Ia tak pernah menduga dirinya telah dijual oleh tetangganya itu. Malang tak dapat ditolak, untung pun tak bisa diraih, Inah pun pasrah dengan keadaannya kini.
Setelah beberapa hari dengan pekerjaan barunya itu, Inah mulai agak melupakan kebodohannya, dan mulai terbiasa menerima keadaan pekerjaannya. Ini karena mengetahui keadaan yang sama juga dialami oleh beberapa temannya di barak itu.
Meski di tempat itu tampak tak ada kesedihan, namun jauh di lubuk hati Inah yang paling dalam, ia menangis sendu, ingat anak, keluarga, dan dosa atas perbuatannya. Ia bertekad kembali ke jalan yang benar bila sudah dapat menebus dirinya, dan keluar dari lembah hitam itu.
Hentakan musik berirama keras masih terdengar kencang meski malam sudah sangat larut. Inah sedang tergolek di dipan setelah melayani tamu ke-5. Matanya menatap atap daun nipah yang membayang muka anaknya, adik dan orangtuanya.
“Maafkan aku anakku, maafkan kakakmu, maafkan anakmu, dan ampuni dosa hamba-Mu ini,” bisik hati Inah.
Suara binatang malam lebih terdengar merdu di telinga inah ketimbang suara musik yang berganti-ganti irama.
Ia coba membayangkan raut wajah suaminya yang sangat tega meninggalkan ia dan anak semata wayang mereka. Andaipun Inah dapat bertemu kembali dengan suaminya, ia tak tahu harus berkata apa, mengumpat, menyumpah serapahi, mencakar mukanya, bahkan mungkin menikamnya bertubi-tubi hingga tubuh suaminya terkapar dan mati, Inah tak punya keberanian, ia hanyalah seorang perempuan lemah yang cuma bisa pasrah dengan keadaan.
“Inah, buka pintunya !” Suara Bu Marni yang serak sambil mengetuk keras pintu bilik Inah.
“Iya bu, sebentar, saya lagi mandi,” sahut Inah sambil mengguyurkan air ke tubuhnya, terasa segar.
“Aku tunggu di ruang depan, ya Nah,” ujar Bu Marni terdengar langkahnya yang berat menjauhi bilik Inah.
“Ada apa Bu Marni sepagi ini sudah memanggil ?” Inah membathin seraya menggosokkan sabun ke tubuhnya.
Selesai mandi, berpakaian dan bersolek seadanya, Inah menuju ruang depan dimana para penghuni barak sering berkumpul. Disana ia dapati sudah ada Bu Marni bersama beberapa rekannya, ada Tarti, Lia, Indah, dan Atik. Inah pun mengambil tempat duduk bergabung.
“Begini lho semua, hari ini kalian mesti bayar beberapa kewajiban sebagai pekerja di tempat ini,” Bu Marni membuka percakapan dengan suara seraknya yang khas.
“Bayar uang kost 300 ribu, untuk air 100 ribu, uang keamanan 150 ribu, silakan dijumlahkan sendiri,” urai Bu Marni.
Mereka pun masing-masing menjumlahkan dan kemudian mengeluarkan uang, memberikannya ke Bu Marni, selesai.
Sore itu Inah sehabis mandi dan berdandan, duduk di teras bergabung bersama yang lain, menanti kalau-kalau ada tamu.
Beberapa saat kemudian 2 sepeda motor yang dinaiki 4 orang berhenti dan parkir di muka barak dimana Inah berada. 4 pemuda berumur sekitar belasan tahun menuju teras dimana Inah dan temannya duduk.
“Halooo nona-nona manis, lagi pada ngapain ini ?” Sapa salah seorang dari mereka dengan agak sempoyongan.
Sementara Inah dan temannya cuma memperhatikan para pemuda yang tampaknya habis pesta Miras.
“Kalian ini nyasar ya jadi sampai kesini ?” Sindir Tarti, salah seorang teman inah.
“Nggak lah ya, kita sengaja kesini menyasarkan diri, hehehe…….,” sahut salah seorang dari mereka yang kemudian duduk disamping Inah.
“Kamu itu nggak dicari-cari orangtua jalan-jalan kesini ?” Tanya Lia bermaksud menyindir pula.
“Kenapa dicari-cari ortu, kita kan sudah dewasa, lihat nih sudah punya kumis,” balas seorang dari mereka yang berparas agak dewasa sambil menunjuk kumisnya yang tipis.
“Sudahlah jangan ngomong terus, kalian mau apa kesini, mau karaokean, atau apa ?” Tanya Atik yang angkat bicara.
“Oh ya, kita kesini jelas mau hiburan, mbak. Kita mau buka musik sambil minum-minum,” kata yang berkumis mewakili teman-temannya.
Beberapa saat kemudian para pemuda itu sudah berada di ruang musik ditemani Inah dan teman-temannya. Alunan musik berirama dangdut pun terdengar menggema dari ruang musik. Terdengar pula alunan lagu dari salah seorang dari mereka mengimbangi musik karaoke.
Ruang musik pun dipenuhi asap rokok dan aroma bir bercampur bau parfum dan keringat.
Cukup lama juga mereka berada di ruang musik itu. Sudah beberapa lagu silih berganti mereka lantunkan.
“Mbak, kita masuk yuk,” ajak pemuda yang ditemani Inah sambil meraih pinggangnya.
Inah tak menyahut, namun berdiri dan beranjak dari tempat duduknya diiringi pemuda itu dari belakang.
Sesampai di bilik Inah, pemuda itu langsung menghempaskan dirinya ke kasur.
“Kok nggak dibuka dulu pakaiaannya,” ujar Inah.
“Nanti dululah, mbak. Aku ingin baring-baring sambil kita ngobrol,” sahut pemuda yang menurut taksiran Inah masih berumur sekitar 18 tahunan.
“Okelah kalau begitu,” balas Inah sambil membuka pakaiannya, sehingga tampaklah tubuh polos Inah yang cuma mengenakan bra dan handuk yang menutupi tubuh bagian bawah.
Inah duduk di tepi dipan membelakangi pemuda yang sedang berbaring itu.
Mereka berbincang apa saja seputar tempat dimana Inah kini berada. Pemuda itu bercerita tentang dirinya yang baru lulus sekolah namun tak melanjutkannya lagi. Menurut pemuda itu orangtuanya menyuruhnya ikut bekerja di usaha tambang batubara ayahnya yang sedang dirintis. Inah pun dengan sabar menjadi pendengar yang baik sebelum akhirnya mereka mereguk kenikmatan sesaat.
Pemuda yang menjadi tamu Inah itu memberikan uang lumayan banyak, 300 ribu, lebih banyak dari tamu yang biasanya ia layani untuk short time, 100 ribu. Uang itu diterima Inah tanpa perasaan apapun. Entahlah ini rejeki, atau alat dari setan untuk melenakan Inah sehingga tetap pada pekerjaan maksiatnya.
“Terima kasih, mbak. Lain kali kita ketemu lagi,” kata pemuda itu seraya beranjak keluar dari bilik Inah.
Sepeninggal pemuda itu, sambil merapikan tempat tidurnya Inah berpikir, di tempat ini tak lagi ada pilihan selain melayani tiap tamu yang datang. Apakah tamu itu setua ayahnya, seumur kakeknya, atau sebaya kakak maupun adiknya, semua mesti dilayani sebagai konsekuensi dari pekerjaan.
“Ayo semua pada kumpul nanti di ruang depan,” kata Bu Marni didampingi suaminya pak Parjo.
“Ada apa ya, bu ?” Tanya Tarti.
“Jam 3 siang ini ada pemeriksaan dari Satpol PP,” terang bu Marni yang diangguki oleh suaminya.
Pak Parjo pun menjelaskan kepada Inah dan teman-temannya. Satpol PP itu bermaksud melakukan pendataan terhadap seluruh para pekerja di barak-barak pemukiman ini.
“Mereka mendata terkait besarnya uang setoran keamanan dari semua pengelola barak disini. Karena selain menyetor ke oknum Kepolisian yang sering berpatroli kesini, juga ke oknum Satpol PP,” jelas pak Parjo panjang lebar.
Namanya juga usaha ilegal yang tak mendapatkan ijin dari pihak berwenang, usaha pelacuran di barak-barak itu setiap bulannya setor sana sini ke para oknum, yang tidak saja meminta duit, tak jarang mereka minta dihibur secara gratisan.
Disamping itu ada pula petugas paramedis yang tiap setengah bulan datang memeriksa kesehatan. Para pekerja seks komersial itu pun mesti merogoh kocek sendiri membayar layanan kesehatan.
Hari menjelang senja, Inah yang sudah selesai mandi dan berpakaian belum ingin keluar dari biliknya. Dari televisi yang berada di ruang depan, terdengar suara kumandang azan magrib.
Inah yang duduk termangu didalam biliknya jadi teringat kampung halamannya. Teringat masa anak-anaknya, masa-masa kemudian semasih bersama suaminya.
Suara binatang malam lebih terdengar merdu di telinga inah ketimbang suara musik yang berganti-ganti irama.
Ia coba membayangkan raut wajah suaminya yang sangat tega meninggalkan ia dan anak semata wayang mereka. Andaipun Inah dapat bertemu kembali dengan suaminya, ia tak tahu harus berkata apa, mengumpat, menyumpah serapahi, mencakar mukanya, bahkan mungkin menikamnya bertubi-tubi hingga tubuh suaminya terkapar dan mati, Inah tak punya keberanian, ia hanyalah seorang perempuan lemah yang cuma bisa pasrah dengan keadaan.
“Inah, buka pintunya !” Suara Bu Marni yang serak sambil mengetuk keras pintu bilik Inah.
“Iya bu, sebentar, saya lagi mandi,” sahut Inah sambil mengguyurkan air ke tubuhnya, terasa segar.
“Aku tunggu di ruang depan, ya Nah,” ujar Bu Marni terdengar langkahnya yang berat menjauhi bilik Inah.
“Ada apa Bu Marni sepagi ini sudah memanggil ?” Inah membathin seraya menggosokkan sabun ke tubuhnya.
Selesai mandi, berpakaian dan bersolek seadanya, Inah menuju ruang depan dimana para penghuni barak sering berkumpul. Disana ia dapati sudah ada Bu Marni bersama beberapa rekannya, ada Tarti, Lia, Indah, dan Atik. Inah pun mengambil tempat duduk bergabung.
“Begini lho semua, hari ini kalian mesti bayar beberapa kewajiban sebagai pekerja di tempat ini,” Bu Marni membuka percakapan dengan suara seraknya yang khas.
“Bayar uang kost 300 ribu, untuk air 100 ribu, uang keamanan 150 ribu, silakan dijumlahkan sendiri,” urai Bu Marni.
Mereka pun masing-masing menjumlahkan dan kemudian mengeluarkan uang, memberikannya ke Bu Marni, selesai.
Sore itu Inah sehabis mandi dan berdandan, duduk di teras bergabung bersama yang lain, menanti kalau-kalau ada tamu.
Beberapa saat kemudian 2 sepeda motor yang dinaiki 4 orang berhenti dan parkir di muka barak dimana Inah berada. 4 pemuda berumur sekitar belasan tahun menuju teras dimana Inah dan temannya duduk.
“Halooo nona-nona manis, lagi pada ngapain ini ?” Sapa salah seorang dari mereka dengan agak sempoyongan.
Sementara Inah dan temannya cuma memperhatikan para pemuda yang tampaknya habis pesta Miras.
“Kalian ini nyasar ya jadi sampai kesini ?” Sindir Tarti, salah seorang teman inah.
“Nggak lah ya, kita sengaja kesini menyasarkan diri, hehehe…….,” sahut salah seorang dari mereka yang kemudian duduk disamping Inah.
“Kamu itu nggak dicari-cari orangtua jalan-jalan kesini ?” Tanya Lia bermaksud menyindir pula.
“Kenapa dicari-cari ortu, kita kan sudah dewasa, lihat nih sudah punya kumis,” balas seorang dari mereka yang berparas agak dewasa sambil menunjuk kumisnya yang tipis.
“Sudahlah jangan ngomong terus, kalian mau apa kesini, mau karaokean, atau apa ?” Tanya Atik yang angkat bicara.
“Oh ya, kita kesini jelas mau hiburan, mbak. Kita mau buka musik sambil minum-minum,” kata yang berkumis mewakili teman-temannya.
Beberapa saat kemudian para pemuda itu sudah berada di ruang musik ditemani Inah dan teman-temannya. Alunan musik berirama dangdut pun terdengar menggema dari ruang musik. Terdengar pula alunan lagu dari salah seorang dari mereka mengimbangi musik karaoke.
Ruang musik pun dipenuhi asap rokok dan aroma bir bercampur bau parfum dan keringat.
Cukup lama juga mereka berada di ruang musik itu. Sudah beberapa lagu silih berganti mereka lantunkan.
“Mbak, kita masuk yuk,” ajak pemuda yang ditemani Inah sambil meraih pinggangnya.
Inah tak menyahut, namun berdiri dan beranjak dari tempat duduknya diiringi pemuda itu dari belakang.
Sesampai di bilik Inah, pemuda itu langsung menghempaskan dirinya ke kasur.
“Kok nggak dibuka dulu pakaiaannya,” ujar Inah.
“Nanti dululah, mbak. Aku ingin baring-baring sambil kita ngobrol,” sahut pemuda yang menurut taksiran Inah masih berumur sekitar 18 tahunan.
“Okelah kalau begitu,” balas Inah sambil membuka pakaiannya, sehingga tampaklah tubuh polos Inah yang cuma mengenakan bra dan handuk yang menutupi tubuh bagian bawah.
Inah duduk di tepi dipan membelakangi pemuda yang sedang berbaring itu.
Mereka berbincang apa saja seputar tempat dimana Inah kini berada. Pemuda itu bercerita tentang dirinya yang baru lulus sekolah namun tak melanjutkannya lagi. Menurut pemuda itu orangtuanya menyuruhnya ikut bekerja di usaha tambang batubara ayahnya yang sedang dirintis. Inah pun dengan sabar menjadi pendengar yang baik sebelum akhirnya mereka mereguk kenikmatan sesaat.
Pemuda yang menjadi tamu Inah itu memberikan uang lumayan banyak, 300 ribu, lebih banyak dari tamu yang biasanya ia layani untuk short time, 100 ribu. Uang itu diterima Inah tanpa perasaan apapun. Entahlah ini rejeki, atau alat dari setan untuk melenakan Inah sehingga tetap pada pekerjaan maksiatnya.
“Terima kasih, mbak. Lain kali kita ketemu lagi,” kata pemuda itu seraya beranjak keluar dari bilik Inah.
Sepeninggal pemuda itu, sambil merapikan tempat tidurnya Inah berpikir, di tempat ini tak lagi ada pilihan selain melayani tiap tamu yang datang. Apakah tamu itu setua ayahnya, seumur kakeknya, atau sebaya kakak maupun adiknya, semua mesti dilayani sebagai konsekuensi dari pekerjaan.
“Ayo semua pada kumpul nanti di ruang depan,” kata Bu Marni didampingi suaminya pak Parjo.
“Ada apa ya, bu ?” Tanya Tarti.
“Jam 3 siang ini ada pemeriksaan dari Satpol PP,” terang bu Marni yang diangguki oleh suaminya.
Pak Parjo pun menjelaskan kepada Inah dan teman-temannya. Satpol PP itu bermaksud melakukan pendataan terhadap seluruh para pekerja di barak-barak pemukiman ini.
“Mereka mendata terkait besarnya uang setoran keamanan dari semua pengelola barak disini. Karena selain menyetor ke oknum Kepolisian yang sering berpatroli kesini, juga ke oknum Satpol PP,” jelas pak Parjo panjang lebar.
Namanya juga usaha ilegal yang tak mendapatkan ijin dari pihak berwenang, usaha pelacuran di barak-barak itu setiap bulannya setor sana sini ke para oknum, yang tidak saja meminta duit, tak jarang mereka minta dihibur secara gratisan.
Disamping itu ada pula petugas paramedis yang tiap setengah bulan datang memeriksa kesehatan. Para pekerja seks komersial itu pun mesti merogoh kocek sendiri membayar layanan kesehatan.
Hari menjelang senja, Inah yang sudah selesai mandi dan berpakaian belum ingin keluar dari biliknya. Dari televisi yang berada di ruang depan, terdengar suara kumandang azan magrib.
Inah yang duduk termangu didalam biliknya jadi teringat kampung halamannya. Teringat masa anak-anaknya, masa-masa kemudian semasih bersama suaminya.
“Tuhanku, kuatkan dan tabahkan diriku, berikan aku kesempatan serta jalan untuk menebus segala dosa dan memperbaiki diri. Di hadapan-Mu aku hanyalah makhluk tiada daya upaya,” harap Inah dalam bathinnya.
(Catatan kisah ini cuma rekaan. Kesamaan karakter, nama tokoh & tempat hanyalah kebetulan saja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.