Cerpen | Ayah, Aku Kecewa - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Rabu, 29 Juni 2022

    Cerpen | Ayah, Aku Kecewa

    ilustrasi
    Aku meradang setelah mengetahui dari ibu, bahwa sepeda motor yang diperuntukkan untuk aku kuliah nanti telah dijual bapak.
     
    “Sialan ! Sialan sekali bapak !” Sumpahku.

    Sementara itu ibu hanya bisa diam mendengar serapahku.

    “Aku nggak jadi kuliah kalau begini,” ancamku dengan nada marah.
    “Sudahlah, pergi kuliah kan tak mesti naik sepeda motor,” nasihat ibu.
    “Nggak bisa, lebih baik batal kuliah daripada jalan kaki atau naik angkot,” rajukku.
    “Yah, terserahlah kalau kamu maunya begitu. Yang mau kuliah kan kamu, menyangkut masa depan kamu juga,” nasihat ibu lagi.
    “Lagian…..kenapa sih bapak dulu janji segala menyiapkan sepeda motor itu untuk aku kuliah. Sia-sia aku belajar keras sehingga bisa lulus,” sungutku dengan nada masih geram.
    “Kamu sudah lulus SMA. Nggak ada yang sia-sia. Coba bandingkan dengan beberapa temanmu yang tidak lulus, betapa sedih mereka dan orantua mereka,” nasihat Ibu mencoba meredakan kekecewaan dan kegeramanku.

    Beberapa minggu lalu, sebelum aku menempuh ujian akhir SMA, bapak janji akan menyerahkan sepeda motor yang dipakainya untuk aku pergi kuliah nanti di ibukota propinsi. “Biar kamu enak pergi ke tempat kuliah, sepeda motor itu bawa aja buat kamu kuliah nanti, itupun bila kamu lulus,” kata bapak waktu itu sambil menunjuk sepeda motor yang baru sekitar 4 bulan dibelinya, masih baru.
    Betapa senangnya aku mendengar perkataan bapak, dan aku berjanji dalam hati untuk belajar sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi ujian. Seandainya aku tidak malu, ingin rasanya aku melonjak dan menari-nari kegirangan atas perhatian dan pengertian bapakku.

    Kini aku benar-benar kecewa. Yah, kecewa berat, kecewa yang sangat teramat dalam. Rasanya aku tak ingin memaafkan bapakku.
    Bukan saja aku geram, marah dan kemudian meradang karena sepeda motor itu dijual bapakku. Lebih dari itu, ternyata menurut pengakuan ibuku, sepeda motor itu dijual oleh bapak uangnya dia pakai untuk menikahi seorang perempuan yang selama ini dicurigai ibu sebagai selingkuhan bapak.

    “Dasar perempuan sundal, bajingan, pelacur, perusak keluarga orang, penghancur masa depan !” Kutukku tak habis-habisnya.

    Aku tak habis pikir dengan ulah bapak. Tega-teganya ia menyakiti hati ibuku yang selama ini kutahu sangat baik dan sabar. Bapak juga kunilai sangat tega mengingkari janjinya kepadaku, membuyarkan harapanku untuk kuliah, meraih dan menyandang gelar sarjana seperti teman-temanku lainnya yang kuliah.

    “Kasihan sekali ibu,” keluhku dalam hati sambil menarik nafas panjang.
    “Biarlah Tuhan yang akan membuka mata, menyadarkan bapakmu kelak atas segala perbuatan dan perlakuannya terhadap kita,” ujar ibu sabar sambil susah payah menahan perasaan dan air matanya.
    “Sabarlah bu, Tuhan Maha Adil, ini ujian-Nya buat ibu, semoga ini bukan musibah,” hiburku sambil mendekap ibu.

    Sejak bapak menikah lagi, ia jarang pulang ke rumah kami. Bapak dalam seminggu pulang sekali ke tempat kami. Ia lebih banyak di rumah istrinya yang baru, ibu tiriku yang tinggal di kota lain yang jaraknya sekitar hampir 3 jam perjalanan naik kendaraan bermotor dari kota tempat kami tinggal.
    Aku pun sejak memutuskan tak kuliah karena kecewa, jarang pulang ke rumah. Aku lebih banyak kumpul-kumpul dengan teman-teman baruku yang mangkal di terminal. Kupikir sekalian kalau bapak pulang naik mobil taksi aku bisa tahu.

    Kepandaianku memainkan gitar membuat teman-teman baruku di terminal menyukaiku. “Gabung disini aja dengan kami biar hepi terus, nggak usah pulang,” kata Gepeng yang kedua lengannya penuh tato kepadaku.

    “Bisa aja, bro. Aku juga malas pulang,” sahutku.
    “Ikut tidur dengan kita aja di kost-kostan,” tawar Sam yang bertubuh tambun dan rambutnya disemir pirang.
    “Thanks bro,” balasku.

    Mereka teman-temanku di terminal induk di kotaku, kerjaan mereka adalah makelar pencari penumpang. Mereka tinggal di sebuah kost-kostan yang tak seberapa jauh dari lokasi terminal. Mereka tak ada yang punya isteri, masih seusia aku. Ada beberapa orang diantaranya Gepeng, Sam, Amur, Toni dan Asul. Mereka semua sudah akrab dengan kekerasan hidup dan minuman keras.

    “Ayo minum, sedikit aja, nggak bakal mabuk kok,” bujuk Amur sambil mengangsurkan setengah gelas minuman keras berwarna kuning teh cap topi miring.
    Aku cuma memandangi gelas itu dengan mata nanar sambil berhenti memainkan gitar.
    “Ayolah bro, coba aja dulu, nanti kalo terasa enak bisa nambah,” rayu Toni pula meyakinkan.
    “Iya, biar main musik dan nyanyinya tambah semangat,” timpal Asul yang bertindak sebagai pembagi minuman.

    Setelah berpikir agak lama, dengan pertimbangan setia kawan, aku pun meraih gelas minuman keras itu, ada keraguan dalam benakku, namun kuminum juga dengan perlahan. Susah payah aku menghabiskan setengah gelas minuman yang rasanya agak pahit campur sepat itu. Tenggorokanku seperti terbakar, perutku kontan terasa panas. Kepalaku pun terasa agak berat.

    “Gimana rasanya, enak kan ?” Ujar Gepeng.

    Aku tak menyahuti Gepeng. Dalam hatiku, “enak gundulmu, rasanya aja nggak keruan dibilang enak.”

    Rupanya Toni menangkap pikiranku, ia pun mengangsurkan kaleng minuman ringan dan sebungkus kacang garing. 

    “Minum ini sambil makan kacang supaya hilang bekas minum barusan,” ujar Toni.

    Aku pun menuruti saran Toni. Lumayan, kepalaku rasanya agak normal.
    Itu pengalaman pertamaku menenggak minuman keras saat kami malam itu kumpul-kumpul di depan kost sambil main gitar dan bernyanyi hingga larut malam.

    Dari keseringan ikut menenggak Miras dengan mereka, sedikit-sedikit, kelamaan aku pun sudah mulai terbiasa. Dan aku pun sudah mulai melupakan kekecewaanku terhadap bapakku. Bila ada waktu, dan tak sedang dalam keadaan mabuk, ku sempatkan pulang ke rumah menengok ibu.

    “Dari mana saja kamu beberapa hari tidak pulang ?” Tanya ibu sambil memperhatikan pakaianku.
    “Biasalah bu, belajar cari kerja,” sahutku.
    “Beberapa hari kamu juga nggak ganti-ganti pakaian,” lanjut ibu terus saja memperhatikanku.

    Aku tak menyahut, aku berlalu ke kamar mandi. Aku ingat sudah 2 hari tidak mandi. Terakhir seingatku mandi di kamar mandi sebelah WC umum di terminal tanpa ganti pakaian selama 5 hari.

    Aku menikmati kehidupanku bersama teman-temanku di terminal. Aku pun mulai ikut dengan pekerjaan mereka. Beruntunglah ada seorang sopir taksi yang menyukaiku karena aku sering mencarikannya penumpang. Aku pun sering ikut mencucikan mobilnya bila sehabis mengantar penumpang dari kota propinsi. 

    “Kamu bisa nyetir mobil, nggak ?” Tanya mas Rakhmat, sopir kenalanku itu.
    “Nggak mas,” jawabku.
    “Oooo…..nanti kalo ada waktu luang aku ajari nyetir mobil,” kata mas Rakhmat.
    “Wah, terima kasih sekali, mas,” ujarku dengan senang.

    Selama aku bergaul dengan teman-temanku di terminal, aku tak pernah cerita banyak menyangkut keluargaku dan pendidikanku. Aku pikir semua itu tidak perlu mereka ketahui, lagi pula mereka tak pernah menanyakannya.
    Aku pun sudah malas mengingat-ingat bapakku apakah ia pulang ke rumah atau tidak. Karena aku tahu selama ini meski bapak jarang memberi ibu uang, ibu tetap tak mengeluh, ibu tetap saja setia dengan pekerjaannya membuat dan berdagang kue.
    Sesekali aku pulang ke rumah cuma untuk menengok ibu dan kedua adikku si Irwan yang duduk di kelas 3 SD dan Mira yang kelas 5 SD.

    “Kakak kemana aja kok jarang pulang ?” Tanya kedua adikku.
    “Kakak kerja,” jawabku.
    “Berarti kakak punya duit, bagi dong, kak,” ujar keduanya sambil menadahkan tangan.

    Aku pun merogoh saku celanaku. Aku ingat tadi pagi dikasih mas Rakhmat 15 ribu karena mencarikannya 2 orang penumpang. Masing-masing adikku kuberi 5 ribu.

    “Horeeeee…..kami diberi kak Fahmi uang !” Seru keduanya sambil mengacungkan uang kertas itu keatas. 
    Ibu yang menyaksikan kelakuan kedua adikku cuma tersenyum simpul.
    Ada perasaan bahagia menyeruak di dadaku menyaksikan kegembiraan adikku menerima pemberianku yang kunilai belum seberapa tapi dari hasil keringatku bekerja.

    “Hati-hati, pandai-pandailah membawa diri dalam bergaul. Jangan sampai ikut-ikutan perbuatan yang nggak-nggak,” nasihat Ibu usai kuceritakan dimana aku berada selama ini.
    Aku cuma menundukkan muka tak berani menatap mata Ibu yang seakan-akan sedang menyelidiki pikiranku.
    “Kehidupan di terminal itu keras. Masalah uang seribu perak saja orang-orang disana bisa main bunuh-bunuhan,” urai Ibu dengan nada khawatir.
    Lagi-lagi aku cuma bisa diam menunduk sambil pura-pura menyimak.
    Tapi aku pikir perkataan Ibuku memang ada benarnya. Dan aku pikir kata-kata Ibu barusan tak ada salahnya aku ingat dan ku camkan.
    “Kalo bisa mengalah, lebih baik mengalah saja. Mengalah itu tak selamanya buruk, mengalah untuk menang,” nasihat Ibu pula.

    Akhirnya keinginanku agar bisa menyetir mobil pun tercapai. Setelah beberapa kali diajari mas Rakhmat, aku pun mulai cakap dan mengerti cara-cara menyetir mobil.

    “Besok kalo kamu mau, bisa ikut aku ngantar penumpang ke Banjarmasin. Anggap aja jadi kenek sebelum benar-benar jadi supir,” tawar mas Rakhmat sambil tersenyum.
    “Mau, mau, mau sekali mas,” seruku kesenangan.

    Aku pun membayangkan besok akan melakukan perjalanan jauh. Membayangkan melihat kota Banjarmasin yang belum pernah kakiku kuinjakkan disana, selama ini aku cuma tahu Banjarmasin lewat cerita teman dan kenalanku.

    Malam tadi mataku sulit kupejamkan. Aku terus membayangkan akan bepergian jauh, menginjakkan kakiku dan menyaksikan kota Banjarmasin yang menurut cerita orang-orang sangat ramai.
    Apalagi tadi malam kami tak seperti biasanya kumpul-kumpul bermain gitar. Teman-temanku sedang dengan urusannya masing-masing. Gepeng pergi bersama seorang temannya. Toni katanya sedang mengapeli pacarnya. Amur sedang pulang kampung, tadi pagi ia ikut menumpang bis ke jurusan Kaltim. Tinggallah Aku, Asul dan Sam di kost-kostan.

    “Aku ingin istirahat aja malam ini. Besok aku mau ikut mas Rakhmat ke Banjarmasin,” ujarku ke Asul dan Sam yang sedang asyik ngobrol di bangku kayu dibawah pohon ketapang di depan kost-kostan kami.
    “Yo’i bro, dilanjut. Jangan lupa oleh-olehnya,” seru keduanya.
    “Beres !” Balasku sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.

    Meski aku berusaha memejamkan mata, terasa sulit, pikiranku melayang kemana-mana. Hingga menjelang azan subuh, mataku tetap tak mau terpejam. Akhirnya kuputuskan ke kamar mandi. Byuuurrr…..akupun membasahi tubuhku. Terasa sangat dingin, aku menggigil tiap kali mengguyurkan air ke tubuhku. Ini kulakukan agar aku tidak mengantuk.
    Usai mandi aku mengeluarkan baju dan celana yang baru kubeli beberapa hari lalu yang belum sempat kupakai. Tampak Sam, Asul, dan Toni yang sedang nyenyak tidur. Tak kulihat Gepeng tidur diantara mereka. Kupikir Gepeng tidur di tempat temannya, memang akhir-akhir ini dia jarang tidur bersama kami. Katanya ia diajak oleh temannya itu ke tambang batubara tempat temannya itu kerja.

    “Wah sudah rapi sepagi ini,” tegur mas Rakhmat.
    “Ya iyalah mas, kan mau pergi pesiar ke kota,” gurauku. Mas Rakhmat cuma senyum simpul mendengar gurauanku.
    “Oke deh, seperti biasa cari penumpang dulu biar kita cepat berangkat,” ujar mas Rakhmat.
    “Siap, Bos !” Sahutku sambil menyilangkan tangan kanan di dahi.

    Akhirnya sampai juga aku di kota Banjarmasin. Setelah menurunkan penumpang di terminal induk kota itu, mas Rakhmat mengajakku ke rumahnya, memperkenalkan aku kepada keluarganya. Mas rakhmat pun mengajakku jalan-jalan melihat-lihat kehidupan kota. Ia mengajakku ke pasar induk, ke mall, dan mengunjungi Jembatan Barito yang membelah sungai terbesar di Indonesia. Banyak warga yang sama berkunjung ke jembatan itu, menyaksikan lalulintas di air sungai.

    Hari ini aku kembali mengunjungi kota Banjarmasin. Tapi aku tak bersama mas Rakhmat lagi. Aku mengunjungi kota itu bersama isteri dan seorang anak lelaki yang sudah berumur sekitar 8 tahun. Aku tak lagi datang menumpang mobil taksinya mas Rakhmat, aku datang dengan mobil rental yang aku sewa untuk beberapa hari. Aku menyempatkan mengajak keluarga kecilku liburan menghabiskan masa cutiku dari perusahaan tambang batubara tempatku berkerja dalam 4 tahun terakhir. Aku diterima bekerja di perusahaan batubara terbesar di kotaku sebagai sopir angkutan batubara.

    Aku dan keluargaku pun menyempatkan mengunjungi keluarga mas Rakhmat yang sudah berhenti jadi sopir taksi. Ia berhenti membawa mobil, membuka usaha kios kecil dan air isi ulang di depan rumahnya.
    Adapun teman-temanku di terminal dulu, Sam masih betah disana jadi makelar. Amur, beberapa bulan setelah aku menikah, ia pulang ke kampungnya di sebuah kota kabupaten di Kaltim. Gepeng, menurut teman-teman disana, dia ikut temannya berkerja di tambang lokal. Toni buka usaha warung kopi bersama isterinya di sekitar terminal setelah menikahi anak bu Narti pemilik warung dimana kami sering ngutang sarapan. Sedangkan Asul, menurut cerita Toni, juga bekerja sebagai sopir angkutan batubara di sebuah perusahaan yang berada di luar pulau.

    Sayangnya kesuksesanku tak sempat dinikmati oleh Ibuku, beliau meninggal dunia beberapa bulan sebelum aku diterima bekerja di perusahaan. Ibuku ditabrak sebuah sepeda motor yang melaju kencang saat beliau akan menyeberang jalan, ibuku tewas sekitar 2 jam kemudian di rumah sakit. Bapakku kembali ke rumah kami dengan memboyong ibu tiriku yang sudah memiliki seorang anak perempuan. Kedua adikku pun diasuh oleh ibu tiriku itu. Dan aku pun sudah melupakan segala kekecewaanku terhadap bapak, dan sumpah serapahku terhadap ibu tiriku.
    Hanya saja suksesku tidak utuh tanpa sempat ikut dinikmati Ibuku, Ibu yang sangat sabar dan tabah.

    “Semoga kau mendapat kebahagiaan di alam sana, menyaksikan sukses anakmu ini dari alam yang berbeda, suksesku untuk engkau, Ibu,” gumamku dengan sendu. (Imi Surya Putra)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...