Editorial | UU Pers Diantara UU ITE dan KUH Pidana Hasilnya Adalah Kriminalisasi Terhadap Insan Pers - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Minggu, 29 Mei 2022

    Editorial | UU Pers Diantara UU ITE dan KUH Pidana Hasilnya Adalah Kriminalisasi Terhadap Insan Pers

    Era Reformasi ditandai dengan tumbangnya Regime (Rejim) Orde Baru yang memerintah selama kurun waktu sekitar 32 tahun di bawah Presiden Soeharto. Reformasi turut pula berdampak pada kehidupan dan kebebasan Pers yang selama Orde Baru dibuat seperti 'bagai kerakap tumbuh di batu hidup segan mati pun enggan'.

    Pasca Reformasi kran kebebasan Pers pun dibuka seolah tanpa sekat dan filter. Euforia kebebasan Pers pun melahirkan banyak media dengan berbagai jenis serta organisasi profesi Insan Pers yang selama lebih 3 dekade hanya dikuasai oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Begitupun dengan Undang Undang Tentang Pers yang diperbarui dengan semangat reformasi yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

    Dengan adanya UU Nomor 40 Tahun 1999 itu Negara membuat aturan tersendiri bagi kegiatan Pers di Indonesia sebagai wahana kebebasan menyampaikan pendapat bagi warga negara. Namun apakah faktanya benar demikian ? Karena sudah tak terhitung para Pelaku Pers; Jurnalis, Wartawan yang dikriminalisasi dengan menggunakan aturan atau Undang Undang lain, padahal terkait kegiatan Pers sudah diatur oleh Undang Undang tersendiri, sehingga tak sedikit para Ahli Hukum berpendapat UU Nomor 40 Tahun 1999 bersifat Lex Specialis.

    Bahkan muncul pertanyaan; Lex Specialis kah UU Pers dari KUH Pidana ?

    Dalam acara Law Colloquium 2004 dengan tema From Insult To Slander; Defamation and the Freedom of the Press, persoalan KUHP versus UU Pers itu merupakan tema yang paling serius dibahas dan diperdebatkan dengan hangat.

    Dalam acara yang berlangsung 2 hari, 28 dan 29 Juli 2004 itu terlihat betapa dua kubu yang berbeda, mereka yang menganggap UU Pers sebagai Lex Specialis, maupun yang menganggap UU Pers bukan Lex Specialis dari KUHP; mempunyai argumen yang kuat. 

    Pendapat bahwa UU Pers merupakan merupakan Lex Specialis dari KUH Pidana, dilontarkan oleh Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar. Kedua Anggota Dewan Pers kala itu yang menjadi pembicara dalam acara itu secara tegas menyatakan UU Pers merupakan Lex Specialis dari KUHP. Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP. Secara hukum, mereka mendasarkan pandangannya pada pasal 50 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. 

    Sementara pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan pers dianggap sebagai perintah Undang Undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana. Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukanlah pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. 

    Bila UU Pers digunakan, menurut Hinca, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan pers, ia harus menggunakan hak jawabnya dan pers wajib melayani hak jawab itu. Kalau pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp 500 juta. Kalau hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai. Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers.

    Sebagai bagian dari Pers tentu saja kami sangat mendukung pendapat Hinca IP Panjaitan yang sangat terang benderang dasar argumentasinya. Karena UU Pers ini haruslah bersifat Lex Specialis dari KUHP, karena jika tidak, maka akan sama saja seperti seseorang yang bertarung menggunakan senjata tapi perisainya terbuat dari bahan yang sangat rapuh. 

    Perihal kebebasan Pers di Indonesia ini sepertinya Negara bersikap setengah hati. Di satu sisi seperti berlagak pro dengan mengesahkan UU Pers, tapi di sisi lain tampak kontra dengan mengesahkan pula UU ITE dan KUHP namun tak direvisi agar sinkron dengan UU Pers. Dengan kondisi seperti ini maka kita akan terus menemui kriminalisasi terhadap Jurnalis/Wartawan karena tak digunakannya UU Pers yang mengatur tugas dan fungsi mereka. (Red)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...