Editorial | Hari Pendidikan Nasional dan Sejarah Yang Tidak Fair - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Selasa, 03 Mei 2022

    Editorial | Hari Pendidikan Nasional dan Sejarah Yang Tidak Fair

    courtesy : sindonews
    Tanggal 2 Mei di Indonesia ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional atau biasa disingkat Hardiknas. Kebangkitan dan munculnya kesadaran akan pendidikan di Indonesia (Hindia Belanda, Red) di masa kolonial dinisbatkan pada 1 tokoh yakni Ki Hajar Dewantara (Surjadi Soerjaningrat), Pendiri Lembaga Pendidikan bernama Taman Siswa pada tahun 1922.

    Tapi apakah Ki Hajar Dewantara memang orang pertama di Hindia Belanda yang sadar dan peduli terhadap pendidikan bumi putera, sehingga cuma namannya yang terdepan dan dijadikan ikon pendidikan Indonesia hingga kini ? Kita simak di bawah ini.

    Sejarah lagi-lagi berpihak kalau tidak dengan para pemenang, juga berpihak kepada mayoritas. Di Indonesia yang jadi mayoritas adalah orang dari Suku Jawa yang merupakan sekitar 40 persen dari total penduduk Indonesia.

    Dikutip dari sindonews, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, Willem Iskander telah mendirikan Sekolah Guru pertama di Tanobato, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada tahun 1862.

    Willem Iskandar bernama asli Sati Nasution gelar Sutan Iskandar lahir di Pidoli Lombang, Mandailing Natal pada Maret 1840. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang. Ia generasi ke 11 dari Klan Nasution dan merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.

    Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan Kota, Mandailing Natal (1853-1855). Pada Pebruari 1857 ia berangkat ke Belanda bersama Alexander Philippus Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan Sekolahnya.

    Dari Sumatera tak cuma Willem Iskander, tapi juga ada Rahmah El Yunusiyah. Dikutip dari swionline, Rahmah lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat pada 29 Desember 1900 dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus (Pandai Sikek) dan Rafi'ah (Si Kumbang) 

    Selain belajar kepada ayahnya, Rahmah juga belajar ke kakak-kakaknya yakni Zainuddin Labay dan M. Rasyad. Kepada merekalah Rahmah belajar membaca dan menulis. Labay sendiri adalah pendiri Diniyat School di Sumatera Barat, Rahmahpun ikut belajar disana.

    Pengalaman belajar di Diniyat School, selain memberikan banyak ilmu dan wawasan kepada Rahmah ternyata memberikan satu keresahan pula. Menurutnya sistem pendidikan yang berlaku di Diniyat School kurang memberikan keterbukaan kepada siswa putri mengenai persoalan khusus perempuan.

    Keresahan itulah yang mendorongnya untuk belajar kepada sejumlah ulama seperti Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya HAMKA), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, dan Syech Daud Rasyidi. Dari sinilah mulai lahir gagasan tentang pentingnya pendidikan kaum perempuan dalam diri Rahmah. ia memutuskan berjuang untuk mengentaskan kaum perempuan sebagai jalan juangnya hingga akhir hayat.

    Pada tanggal 1 Nopember 1923, sejarah telah mencatat berdirinya perguruan untuk wanita Islam pertama di Indonesia (Hindia Belanda, Red) yakni Madrasah Diniyah Puteri (Madrasah Diniyah li al-Banat) di Padang Panjang, Sumatra Barat.

    Kalau Kartini cuma gagasan yang diungkapkan melalui surat-surat yang dilayangkan ke para teman-teman penjajahnya, tapi Rahmah El Yunisiyah sangat jauh melampaui gagasan Kartini, ia mendirikan sekolah yang dapat dinikmati oleh kaum wanita.

    Terkait kepeloporan pendidikan di Indonesia, lagi-lagi sejarah berpihak kepada mayoritas, dan tampaknya sejarah mesti ditulis secara fair. (Red)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...