Seperti diketahui Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh seorang Kiai yakni Kiai Haji Ahmad Dahlan (EYD, Red) pada tahun 1912, atau lebih dulu sekitar 14 tahun dari berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yakni pada 1926. Tapi kenapa di Muhammadiyah sekarang tak ada lagi sebutan Kiai ?
Ketua PP Muhammadiyah, Syafiq Mughni, yang merupakan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya menjawab terkait itu di bawah ini seperti dikutip dari sejumlah sumber yang valid.
Menurut Syafiq, diantaranya disebabkan 3 faktor; (1) Muhammadiyah tidak memiliki banyak pesantren tradisional, (2) Kiai lebih mudah tumbuh dalam masyarakat tradisional, dan (3) Modernitas yang dianut oleh Muhammadiyah juga menyebabkan tidak banyak yang berminat untuk menjadi kiai.
Syafiq menjelaskan; pesantren tradisional merupakan lembaga pendidikan yang intensif mengajarkan kitab-kitab kuning, sekaligus ilmu-ilmu untuk bisa menguasai kitab tersebut. Penguasaan terhadap kitab kuning merupakan faktor penting dalam diri seorang kiai. Di pesantren tradisional inilah kiai memiliki akar yang sangat kokoh.
“Pesantren-pesantren modern milik Muhammadiyah secara umum menekankan penguasaan ilmu-ilmu agama yang aplikatif, tanpa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utama,” ujar Syafiq.
Menurut Syafiq, dalam tradisi pesantren kedudukan lebih ditentukan sejak lahir (ascribed status). Seseorang yang berdarah “hijau” atau keturunan kiai punya kesempatan lebih besar untuk menjadi kiai dibanding orang lain. Sebaliknya, dalam masyarakat modern kedudukan seseorang ditentukan oleh prestasinya (achieved status).
”Dengan demikian, modernitas yang selama ini menjadi ciri pemikiran dan sikap sosial Muhammadiyah telah membuat ladang yang gersang bagi tumbuhnya kiai,” tutur Syafiq.
Anak cucu seorang kiai Muhammadiyah tidak serta-merta diistimewakan. Tidak banyak orang berdatangan untuk minta berkah kepada kiai Muhammadiyah. Egalitarianisme menyebabkan kedudukan kiai dalam Muhammadiyah tidak lagi istimewa. Dengan demikian lanjut Syafiq, dapat disimpulkan; memang terjadi penurunan kuantitas kiai dalam Muhammadiyah, dan itu berimplikasi hilangnya dominasi kiai dalam kepemimpinan. Kiai menjadi barang langka dalam Muhammadiyah.
”Sekalipun demikian tidak berarti kuantitas ulama juga menurun,” kata Syafiq pula.
Syafiq pun menjelaskan perbedaan konsep antara kiai dengan ulama. Menurutnya, kiai adalah konsep antropologis. Seseorang menjadi kiai karena komunitasnya menyebutnya demikian. Jika seseorang itu berada di luar komunitasnya sangat mungkin tak seorangpun mengakuinya sebagai kiai. Yang terpenting adalah pengakuan masyarakat, sedangkan keilmuan dan kepemimpinan adalah persoalan kedua.
Berbeda dengan itu, ulama adalah konsep teologis, yakni orang yang menguasai ilmu agama, bertakwa kepada Allah (yakhsyallaha), dan membawa misi kenabian (waratsatul anbiya’). Kualitas keilmuan seseorang mungkin bisa diukur oleh manusia, tetapi 2 kualitas lainnya (ketakwaan dan misi kenabian) hanya diketahui oleh Allah.
“Dengan kata lain, apakah seseorang berhak disebut ulama atau tidak, dengan 3 kriteria itu; adalah urusan Allah yang Maha Tahu,” tutur Syafiq. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.