ilustrasi |
Mulai beberapa hari lalu Minyak Goreng Bersubsidi menyerbu pasar dengan harga Rp 14 ribu per liter; dipasarkan atau dijual di sejumlah toko modern (ritel) berjaringan maupun yang tak berjaringan, serta di toko lokal yang ditunjuk pemerintah.
Meski harga Minyak Goreng Bersubsidi Rp 14.000 per liter, tapi tetap mengalahkan harga Pertalite dan Pertamax. Padahal kalau dianalisa secara teknis; proses produksi dan biaya produksi BBM hingga menjadi Pertalite dan Pertamax tentu jauh lebih rumit dan mahal daripada memproduksi Minyak Goreng.
BBM merupakan sumber daya alam yang tak bisa diperbarui; ini semua orang yang pernah mengenyam pendidikan cukup tinggi pasti tahu. Bahan baku BBM itu berasal dari fosil yang usianya tidak singkat tapi ribuan tahun hingga jutaan tahun. Sementara itu bahan baku Minyak Goreng berasal dari SDA yang dapat diperbarui; dari tumbuhan.
Urusan membuat Minyak Goreng para warga masyarakat awam saja bisa, karena turun temurun sebelum adanya bahan baku dari kelapa sawit dan lainnya masyarakat sudah membuat sendiri Minyak Goreng dari bahan kelapa. Tapi tentu tak ada warga masyarakat yang bisa membuat sendiri Pertalite dan Pertamax.
Nah, berkaca dari fakta tersebut mestinya harga BBM jauh lebih mahal dari Minyak Goreng bukan malah sebaliknya, apalagi BBM sifatnya kalau digunakan maka akan habis, tak seperti Minyak Goreng yang bisa digunakan berkali-kali karena sifatnya menyusut bukan langsung habis.
Meski Pemerintah terus berupaya membuat BBM dari bahan baku nabati, tapi yang lebih banyak diproduksi tetap saja BBM berbahan baku fosil. Juga meskipun sudah terdapat pengalihan penggunaan BBM ke gas dan listrik, faktanya Pemerintah tetap saja lebih mengedepankan BBM berbahan fosil.
Cara berpikir dengan logika terbalik; produk dari bahan baku tak bisa diperbarui dan proses lebih rumit dan biaya cukup mahal; dijual lebih murah, sedangkan produk dari bahan yang bisa diperbarui dengan proses pembuatan lebih mudah dan biaya lebih murah; tapi dijual lebih mahal.
Kalau menurut hukum ekonomi; yang lebih sulit dibuat dengan biaya lebih banyak, maka harganya lebih mahal daripada produk yang pembuatannya lebih mudah dengan biaya murah pula. Entahlah para pembuat kebijakan di negeri ini mereka itu pakai hukum apa, mungkin ada teori hukum baru yang kalangan mereka sendiri yang tahu. (ISP)
*Tulisan di atas mengacu dan berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers; Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Penulis : Imi Surya Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.