Cerpen | Mendung Di Pelupuk Mata Bunda - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Kamis, 20 Januari 2022

    Cerpen | Mendung Di Pelupuk Mata Bunda

    courtesy : kabarmakkah
    Senja merah menggantung dengan indah di ufuk barat, di depan rumahku. Masih terasa hawa basah dan dingin yang menyergapku, karena hujan yang mengguyur desaku sejak subuh hingga dhuhur tadi. Mulai terdengar bunyi kodok bersahut-sahutan seperti sedang membuat pertunjukkan yang terus berjalan dengan harmoni yang unik. Terkadang hal itu membuat aku tersenyum sendiri karena suaranya yang terdengar lucu. Tapi hal itu tidak terjadi hari ini.

    Semenjak dua hari lalu aku kedatangan orang yang pernah melahirkanku dan langsung meninggalkanku di tempat nenekku. Nyai, begitu aku memanggil nenekku, sering sekali kuhujani dengan berbagai pertanyaan tentang Ibuku namun Nyai tak pernah menjawab. Saat aku mulai masuk sekolah pertama, barulah aku bosan mencari tahu tentang Ibuku. Entah apa yang ada di pikirannya hingga dia tega meninggalkan aku begitu saja. Leherku serasa tercekik setiap mendengar guru agamaku menyatakan agar berbakti kepada Ibu kita yang telah dengan susah payah membesarkan kita. Tapi apa ? Kenyataan yang kudapat tidak sesuai dengan apa yang dikatakan guru agamaku itu.

    “Agus, maghrib nak, masuklah,” ibu memanggilku dengan nada yang dilembutkan. 

    Aku memang tidak suka dengan kehadiran ibu yang tiba-tiba itu, sehingga aku tidak terlalu memperhatikannya, itulah sebabnya komunikasi kami tidak begitu baik, bahkan bisa dibilang buruk.

    Aku melengos saja masuk rumah, dan langsung ke belakang untuk mengambil air wudhu. Didalam shalat aku merasa terguncang. Ada pergolakan hebat dalam batinku, di sisi lain aku memang merindukan sosok seorang ibu dalam kehidupanku, namun di sisi lain aku tidak bisa menerima kenyataan kalau Nyai meninggal setelah sehari bertemu ibu, aku merasa ibu lah menjadi penyebabnya.

    Sekitar jam delapan malam, kudengar ibu sedang memasak. Tercium aroma makanan kesukaanku tumis ikan peda yang membuat aku teringat akan saat-saat kubersama Nyai, makanan itulah yang menjadi kesukaanku dan selalu dimasakkan oleh Nyai setiap hari minggu. 

    “Nak, ayo makan, ibu masak ikan peda karena ibu suka sekali ikan peda dan ibu pikir kamu pasti akan suka juga,” ibu membuyarkan lamunanku. 

    “Agus alergi,” jawabku singkat dan langsung meninggalkan ibu yang masih berada di pintu dapur. 

    Entah kenapa aku bisa sekasar itu pada ibu. Dalam hatiku yang paling dalam, sungguh kusesali perkataanku barusan.

    Aku menelusuri jalan setapak yang masih terasa agak licin, setelah sampai di pinggir desa, kuhentikan langkahku dan bersandar di pohon pisang yang banyak berjajar di dekat gapura. Disini aku banyak mengingat kenangan masa kecilku bersama Seto, Bima, Ari dan beberapa kawanan lain. Dulu ketika kami berada dalam satu Sekolah Dasar, setiap pulang sekolah saat musim pisang berbuah, kami membawa kantong kresek putih yang besar dan mengambil pisang-pisang yang sudah menguning. Dengan sigapnya kami memetik pisang itu dan memasukkannya didalam kresek. Kami memang harus cepat, karena tak lama setelah itu, pak Lurah akan mengejar kami sambil berteriak mengumpat. 

    “Dasar anak-anak nakal, bikin jengkel banget,” seru pak Lurah waktu itu. 

    Aku tersenyum sendiri mengingat itu. Yang kutahu waktu itu aku bahagia saja meskipun tanpa ibu, namun aku sangat iri juga melihat teman-temanku dimanja dan disayang oleh ibu mereka.

    Namun kenapa Nyai harus pergi, padahal aku tak pernah bisa membayangkan bila tidak ada Nyai dalam hidupku. Kenapa harus ibu yang menjadi pengganti Nyai. Huh, dengan seenaknya saja dia menempati rumah Nyai, masak di dapur Nyai. Aku benci melihat itu semua. Sungguh Tuhan tak adil menurutku. Harusnya ibu tidak kembali datang sehingga semua ini tidak terjadi. Arrggghh, ingin pecah kepalaku memikirkan semua ini. Aku tidak mau wanita yang telah mencampakkanku begitu saja dengan mudahnya menggantikan Nyai yang begitu menyayangiku dan mengurusku selama ini.

    Aku beranjak pulang dengan nafas yang penuh kemarahan, aku akan membuat wanita itu pergi dari rumah Nyai. Tidak akan lagi kubiarkan dia menyentuh barang-barang yang pernah menjadi milik Nyai. Dalam hatiku yang penuh dengan kemarahan, aku berencana akan membuatnya menyesal karena telah meninggalkanku.

    Sampai di depan rumah, kubuka pintu rumah dan masuk. Aku dengan cepat mencari ibu. Di kamar Nyai, tidak ada, di kamarku, tak ada juga, aku berjalan cepat ke dapur, nihil. Aku berpikir sejenak, lalu dengan pelan aku berjalan ke ruangan Nyai yang biasa digunakan untuk melaksanakn shalat dan mengaji. Begitu masuk, aku sungguh terperanjat. 

    “Nyai,” bisikku pelan. 

    Kulihat wanita sedang shalat di tempat Nyai, sungguh mirip dengan Nyai. Tapi tidak mungkin itu Nyai, pikirku. Karena tidak mungkin Nyai bisa keluar dari dalam tanah. Aku duduk di pintu ruangan, kutunggu wanita itu menyelesaikan shalatnya, sungguh tenang hatiku di dekatnya.

    “Tuhan, berilah anakku kehidupan yang baik dan indah di dunia dan akhirat. Jangan beri dia nasib sepertiku yang harus merantau untuk dapat menyambung hidup kami. Ampunilah dosanya dan beri dia petunjuk agar dia bisa menerimaku kembali. Tuhan, beri ibuku tempat yang layak karena beliau sudah menepati janjinya untuk terus menjaga anakku dan menjaga rahasiaku, amin ya robbal alamin,” nyaris lemah lututku mendengar doa ibu yang terdengar begitu tulus.

    Kemarahan yang sedari tadi menguasaiku langsung luluh seketika. Ingin rasanya aku memeluknya dan meluapkan kerinduanku selama ini. Tapi tidak, aku mengenda-ngendap masuk ke kamar Nyai, kuperiksa tumpukan arsip di atas lemari. Kulihat arsip yang paling kusam dan kubuka, semakin miris ketika aku tahu kalau itu adalah kumpulan surat-surat dari ibu selama dia pergi. Dari surat-surat itu aku tahu kalau ibu tidak pernah meninggalkanku. Ibu pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan Nyai. Demi untuk menyambung hidup kami, ibu menjadi seorang buruh bangunan, pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh seorang laki-laki. Terbersit rasa bangga dalam benakku, karena perjuangan ibu yang luar biasa.

    “Agus, apa yang kamu cari nak ?” ibu masuk, lamunanku buyar dan dengan sigap membereskan arsip dan meletakkan kembali seperti semula. 

    Ibu terus memperhatikanku dengan heran. Aku merasakan mataku merah karena ingin menangis, tapi kutahan. Aku adalah seorang laki-laki dan aku harus kuat. Itulah ajaran Nyai yang terpatri kuat dalam diriku. 

    “ibu masak apa?” tanyaku pada ibu sembari mengucek mataku untuk menutupi ekspresiku. 

    “ikan pedas nak,” jawab ibu.

    Kurangkul ibu, “ayo kita makan bu,” kataku sembari mengajak ibu ke dapur. 

    Ibu tiba-tiba memelukku, terasa ada air yang menetes di bahuku dan sungguh terasa amat dalam tangisan ibu. Aku tak bisa lagi menahan butiran-butiran air di mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar. Kami bertangisan bersama. Sejak lima belas tahun yang lalu aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang, dan kini aku telah menemukannya kembali. My mom is my life. (Siti Nurhaidayati)

    *Kesamaan nama, tempat & karakter hanyalah kebetulan, ini hanyalah fiktif.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...