Samuel F. Silaen (foto : suarapembaruan) |
Pemerintah
wajib mengganti rugi biaya yang dikeluarkan oleh para Cakada
B (Calon Kepala Daerah) jika pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada
serentak yang sudah ditetapkan pelaksanaannya pada 9 Desember 2020
mendatang.
Beberapa
bulan lalu Direktur Eksekutif LAKSAMANA (Lembaga Kajian Studi
Masyarakat dan Negara), Samuel F. Silaen sudah menyoroti kebijakan
pemerintah soal Pilkada 2020, tepatnya sejak pemerintah dan KPU
menyampaikan informasi ke publik soal pelaksanaan Pilkada serentak
2020.
"Silakan
googling apa yang sudah disampaikan LAKSAMANA kepada publik kini hampir
menjadi kenyataan, sebab dulu Ormas yang mendukung kebijakan pemerintah
sepertinya kini balik badan menolak atau meminta penundaan
dilaksanakannya Pilkada serentak 2020," kata Samuel F Silaen kepada para
Jurnalis di Jakarta (19/09/20).
Tidak
terlalu berlebihan apa yang disampaikan Silaen itu sekarang menjadi
sesuatu yang tak terbantahkan. Pandemi Covid-19 ini menjadi sebab
musababnya, alasan meningkatnya penyebaran virus Corona dijadikan
landasan utamanya, pilkada mau ditunda.
Lanjut
Silaen, saat ini tetap mendukung kebijakan yang sudah diputuskan
pemerintah itu, apa yang sudah diputuskan harus tetap dilaksanakan,
jangan plin plan sebab tahapan sudah berjalan. Penundaan Pilkada
serentak tanggal 9 Desember 2020 bukan solusi yang tepat. Malah akan
memperburuk situasi perpolitikan nasional.
Menurut
Direktur LAKSAMANA itu, negeri ini jangan dijadikan semacam ajang coba-
coba dalam menjalankan kebijakan yang sudah ambil. Pilkada serentak ini
sudah terlanjur berjalan, ibarat naik taksi, argo sudah jalan, jika
ditunda maka akan menyebabkan timbulnya kerugian buat Pemerintah dan
terlebih buat para Cakada itu sendiri.
"Pilkada
serentak ini tetap harus dilaksanakan demi kepastian hukum. Pemerintah
harus mampu memberikan kepastian hukum kepada seluruh kontestan; para
Cakada. Sangat berbahaya jika suatu kebijakan pemerintah gonjang-
ganjing," kritik Silaen.
Yang mendesak pemerintah dalam hal ini Mendagri dan KPU untuk memutuskan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020.
Menurut
hemat Silaen, tidak ada yang mendesak. Tapi sekarang tahapan Pilkada
serentak sudah berjalan, kok malah mau ditunda, ada apa ?
"Pemerintah
harusnya sebelum memutuskan satu kebijakannya, harus sudah matang,
punya kalkulasi, analisa dan kajian yang konferehensif.
Sekarang membingungkan publik, ibarat lirik lagu 'kau yang memulai kau
yang mengakhiri kau yang berjanji kau yang mengingkari'. Pemerintah
harus memegang teguh prinsip atas kebijakan yang sudah diambil.
Sangat berisiko jika satu kebijakan dianulir hanya karena tekanan Ormas
tertentu yang awalnya mendukung Pemerintah melaksanakan Pilkada serentak
2020 ini. Aneh bin ajaib, kok sekarang berubah, kok kayak ada pesanan
tersembunyi, barang yang sudah dipesan aja harus dibayar," kritik Silaen
lagi.
Semestinya
menurut Silaen, Pemerintah belajarlah pada sepenggal motto satu ormas
'sekali layar terkembang surut kita berpantang' jadi satu kebijakan itu
harus dijunjung tinggi meskipun berat untuk dijalankan. Jangan jadi
'Pemimpin Tiba Masa tiba Akal' repot jadinya.
Jika
semua kebijakan pemerintah prematur begini, maka dapat dipastikan akan
terjadi polemik yang berkepanjangan. Yang rugi rakyat.
Pelaksanaan tahapan Pilkada itu pakai anggaran keuangan negara yang
tidak sedikit. Jadi kalau ditunda sama halnya dengan membakar anggaran
yang sudah berjalan.
"LAKSAMANA
menyoroti para pemilik rekomendasi, yang kalau ditunda apakah
rekomendasi itu hangus karena kadaluarsa. Rekomendasi itu mahal
harganya. Ini sudah jadi rahasia umum. Ini jadi kekuatiran peserta
Cakada.
Persiapan para Cakada itu tidak sedikit, saya sangat memahami suasana
kebatinan yang sedang mereka alami. Mesin politik yang sudah dimulai
akan padam jika dilakukan penundaan Pilkada. Mungkin yang tingkat
elektabilitasnya rendah ini satu kesempatan yang menguntungkan," imbuh
Silaen.
Pilkada
ditunda berarti Pemerintah harus mengganti semua biaya-biaya yang sudah
dikeluarkan oleh para Cakada, karena keputusan Pemerintah itu
menimbulkan kerugian di sisi para Cakada, bagaimana dengan sisi
pemerintah ?
"Tanyakan kepada pemerintah," ujar Silaen.
Ia
pun memberikan contoh konkrit, jika listrik PLN padam dengan tidak
sengaja atau sengaja; diberikan biaya ganti rugi (kompensasi). Maka jika
ada kebijakan Pemerintah yang sudah diputuskan lalu menimbulkan atau
ditimbulkannya kerugian terhadap warga negara maka harus diberikan ganti
rugi material dan immaterial. (Rel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.