Editorial | Pelaku Pers Indonesia, Waspada Terhadap Kekerasan dan Kriminalisasi - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Sabtu, 20 Juni 2020

    Editorial | Pelaku Pers Indonesia, Waspada Terhadap Kekerasan dan Kriminalisasi

    Jurnalis atau Wartawan di era ini harus bahkan wajib hukumnya merekam bahan, keterangan, data dan lainnya baik ke dalam bentuk tulisan, suara (audio), foto dan video (visual) ataupun gabungan dari keduanya (audio visual). Ini sangat perlu sebagai barang bukti (evidence, proof, testimony) jika suatu waktu/saat terjadi sesuatu terkait delik pers ataupun tuntutan hukum terkait pemberitaan.

    Para Jurnalis/Wartawan terutama di Kalsel patut berkaca dari kasus Pemimpin Redaksi Online Banjarhit, Diananta Putra Sumedi yang tersandung oleh pemberitaan yang dinilai bernuansa SARA yang dikenakan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

    Semua bahan, keterangan dan data yang tetap tersimpan sebagai bahan pemberitaan itu nantinya akan sangat berguna sebagai pembuktian di Pengadilan.

    Dan juga tak kalah pentingnya adalah badan hukum untuk melindungi media sebagai landasan hukum dan legalitas sehingga diakui sebagai bagian dari lembaga pemberitaan mainstream (arus utama) terutama untuk jenis media digital atau online baik dalam bentuk/format website maupun blog. Karena jika tak memiliki badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT) maka website maupun blog akan dianggap sebagai kepemilikan pribadi, atau istilahnya disebut blogger.

    Di era reformasi ini profesi Wartawan/Jurnalis tampaknya tidak lagi nyaman setelah Pemerintah mengeluarkan Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak saja dapat menjerat warga umum tapi Jurnalis/Wartawan yang pemberitaannya dianggap merugikan seseorang, kelompok maupun institusi baik pemerintahan maupun swasta. Meski untuk para Jurnalis/Wartawan sudah dibuatkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dalam muatannya mengandung semangat reformasi di bidang pers, namun Undang Undang Lex specialis ini tak banyak membantu seorang Jurnalis/Wartawan jika terjadi delik pers atau tuntutan hukum terkait konten pemberitaan. Pihak Penyidik Kepolisian sepanjang ini lebih suka menggunakan Undang Undang ITE ketimbang UU Pers.

    Dengan keberadaan UU ITE ini rentan digunakan oleh siapa saja untuk mengkriminalisasi pihak lain tak terkecuali para Jurnalis/Wartawan. Rentan digunakan terutama oleh penguasa maupun pengusaha untuk mengkriminalisasi para Jurnalis/Wartawan.

    -Kebebasan Pers, Indonesia Kalah Dari Timor Leste dan Malaysia

    Kondisi kehidupan pers di negeri ini masih kalah dibanding beberapa negara tetangga. Dilansir dari Okezone Online, indeks kebebasan pers di Indonesia tahun 2020 berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) naik dari posisi sebelumnya 124 ke posisi 119. Meski demikian indeks tersebut masih kalah jauh dari Timor Leste yang nota bene bekas bagian dari Indonesia (Propinsi Timor Timur, Red) yang indeks kebebasan pers-nya berada di posisi 78. Dan juga kalah dari Malaysia yang berada di posisi 101. Indonesia hanya lebih baik dari beberapa negara tetangga ini; Filipina (136), Burma (139), Thailand (140), Kamboja (144), Brunei (152), Singapore (155), Laos (172) dan Vietnam (175). 

    RSF menilai Presiden Joko Widodo belum memenuhi janji kampanyenya untuk menjamin kebebasan pers pada masa 5 tahun kepemimpinannya periode pertama. Itu terlihat dari adanya tindak kekerasan yang dialami Jurnalis/wartawan pada Mei 2019 lalu saat aksi massa. Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) mencatat setidaknya 20 Jurnalis/Wartawan yang mengalami tindak kekerasan seperti mengalami pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman dan perampasan alat kerja jurnalistik.

    Sebelumnya juga pada Juni 2018 terjadi tindakan kriminalisasi terhadap seorang Jurnalis/Wartawan di Kotabaru Kalsel bernama M. Yusuf yang ditahan dan meninggal di tahanan.

    Kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi. Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menunjukkan sepanjang tahun 2019 terdapat 75 kasus kekerasan terhadap wartawan. Polisi disebut paling banyak melakukan kekerasan itu. (Berita VOA Indonesia edisi tanggal 14 Januari 2020).

    Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2018 dimana kasus kekerasan terhadap Jurnalis/Wartawan berjumlah 70 kasus.
    Kasus kekerasan terhadap Jurnalis/Wartawan pada 2019 terbanyak terjadi di Jakarta (33 kasus), disusul Sulawesi Tenggara (8 kasus), dan Sulawesi Selatan (7 kasus).

    Para teman dan rekan Jurnalis/Wartawan sekalian dimana pun berada dan bertugas agar selalu waspada dan berhati-hati dalam melaksanakan fungsi dan tugas, karena tindak kekerasan dan kriminalisasi sangat rentan menimpa kita baik secara verbal maupun dalam bentuk lainnya. Selamat bertugas, kita berkarya tidak saja untuk bangsa dan negara tapi untuk dunia. (ISP)

    ----------©----------
     

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...