Penulis
Happy Syafaat Sidiq
-Modernisasi Klasik
Mengapa pesantren bisa survive sampai sekarang?
Pertanyaan ini
memang sedikit mengada-ada. Tapi hal itulah yang justru menggoda saya untuk
menilik lebih jauh tentang peranan suatu pesantren, dimana pesantren bisa
eksis sampai sekarang karena masih mewarisi dan memelihara kelangsungan ajaran
Islam yang dikembangkan Ulama dari masa ke masa. Lebih dari itu pesantren
juga mampu menjaga, bukan hanya keidentikkan makna Islam, tapi juga makna
keaslian Indonesia.
Terlepas dari itu, saya sempat bingung, akhir-akhir ini banyak sekali
stigma-stigma menimpa dunia pesantren.
Kebingungan saya tersebut bukannya tidak beralasan melihat fungsi pesantren
sebagai wadah pengembangan ajaran Islam yang sangat penting dan dominan.
Stigma-stigma akan pesantren mungkin
juga muncul akibat banyak sekali anggapan yang dihantamkan pada pesantren dalam
proses dan praktik keislamannya yang sudah terkontaminasi dengan bid’ah
dan khurafat. Aksi-aksi kekerasan dan yang memicu terjadinya kekerasan terutama agama yang terjadi di Indonesia. Parahnya lagi mereka berkata
demikian karena dilandasi oleh aktor, bahkan dalang kejadian, yakni figur-figur
yang (katanya) mempunyai kepahaman Islam yang mendalam dan alumnus pesantren.
Sehingga tanpa kita sadari kesan buruk akan pesantren tumbuh dengan
sendirinya. Mengingat pesantren merupakan wadah yang masih murni dalam syiar ajaran Islam
kena getahnya.
Dalam kajian tasawuf yang saya pelajari di pesantren jikalau memang
benar-benar memang ingin menegakkan amr ma’ruf nahi munkar di negeri yang
indah diwarnai dengan toleransi ini ada baiknya dengan konsep al ma’ruf bil
ma’ruf wal munkar bil ma’ruf, dengan artian bahwasanya kita menjalankan
peintahNya dengan kebaikan pun menolak kemungkaran dengan kebaikan pula. Terbukti
sejak jaman Walisongo di Pulau Jawa mengajarkan tingginya toleransi. Para Walisongo
pertama-tama melakukan pendekatan kepada masyarakat yang notabene waktu itu
beragama Hindu dan Budha, menyesuaikan dengan adat yang ada, lalu kemudian
mengubahnya dengan ajaran Islam secara bertahap. Tidak kemudian menyerukan jihad
terhadap orang kafir, tidak. Karena mereka berpedoman bahwa Islam adalah yang
kehadirannya membuat orang lain damai, dan mukmin ialah yang keberadaannya
membuat orang lain merasa aman.
-Ekslusivisme
Selain itu faktor internal dari stigma tersebut diantaranya; kebiasaan
santri yang kolot dan kaku yang cenderung tertutup dari lingkungan. Atau bisa
juga disebut; masih kuatnya sikap eksklusif (terpisah dari yang lain) para
santri dengan lingkungan sosialnya, sehingga santri kurang berinteraksi dengan
dunia luar dan lamban dalam menerima gegap gempita perkembangan dunia luar, sehingga tercipta seperti yang diungkapkan Nurkholis Madjid dengan,
“kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar”.
Faktor internal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap sebagian
pesantren yang masih “enggan” dan “rikuh” dalam proses menerima modernisasi.
Karena yang dikuatirkan pesantren dengan apa yang dinamakan modernisasi
tersebut adalah, akan mengorbankan esensi dasar keislaman dalam kaitannya dengan
pesantren. Selain itu masih santernya klaim, bahwa pesantren terlalu kaku,
kolot, berorientasi akhirat dan melupakan dunia.
Apabila benar stigma-stigma tentang pesantren tersebut muncul akibat sebagaimana hal yang saya paparkan, maka untuk mengembalikan lagi citra pesantren seperti keadaan semula adalah
dengan menolak (mematahkan) stigma tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan
peneguhan dalam menjalankan nilai-nilai keislaman dengan sebenar-benarnya. Dan
peng-istiqamah-an tradisi positif pesantren selama ini. Hal ini
dimaksudkan agar apa yang dilancarkan pihak luar itu adalah hal yang salah,
atau setidaknya dapat ter-counter. Karena kegiatan yang berada di pesantren
selama ini tidak ada yang berlawanan atau melenceng dari syariat Islam.
Memang cukup riskan untuk menolak stigma tersebut dengan tradisi dan
modernisasi. Kita tahu dua hal tersebut saling bertolak belakang dan saling
berlawanan makna. Tapi melihat pada realitanya sekarang, pesantren sudah
berkembang; pesantren salaf, modern dan semi modern. Jadi saya merasa
penolakan tersebut tidak hanya dengan tradisi, tapi juga harus dengan
modernisasi.
Stigama tersebut setidaknya dapat terbantahkan dengan tradisi dan
modernisasi yang ada dalam pesantren sendiri. Pertama, dengan tradisi adalah
dengan menengok ke belakang latar belakang berdirinya pesantren meskipun
tertutup. Tapi pesantren lahir dari lingkungan dan pengalaman sosial masyarakat
sekitar. Jadi munculnya suatu pesantren itu lebih dipengaruhi oleh desakan
daerahnya atau karena dorongan kenyataan, bahwa harus ada pesantren guna
transmisi dan transfer ilmu keagamaan.
-Tradisi Kitab Kuning
Selain itu pesantren masih tangguh dalam mempertahankan "kitab
kuning". Karena kitab kuning tidak hanya mampu melacak tradisi keislamaan
Indonesia, tapi juga tradisi Islam itu sendiri. Disamping mengupas Fiqih,
Tauhid, Tasawuf juga mampu manampilkan serangkaian perjalanan hikayat
tradisional. Dengan kata lain, KK (Kitab Kuning) adalah identitas asli
dari sepak terjang para salafusshaleh dengan balutan metode khas
Jawanya.
Belum lagi kaum bersarung masih mempertahankan hal-hal yang benar
dianggapnya “keramat”. Sehingga tidak heran transformasi ilmu antara
santri - kiai diyakini tidak hanya terjadi via interaksi langsung belajar
mengajar saja, namun juga karena faktor “tersurat”. Seperti cium tangan kiai, tawasul,
tabarukan lewat ajaran para masayikh, baik yang sudah wafat
maupun yang masih hidup. Karenanya mereka sangat mengenal tentang pesona sebuah
barokah. Oleh karena itu pesantren menjelma menjadi semacam lembaga
keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan kekuasaannya.
Selain dengan tradisi, stigma tersebut dapat tercabut melalui apa yang
dinamakan modernisasi yang ada dalam pesantren. Modernisasi disini bukanlah
berorientasi ke Barat (Westernisasi), melainkan pemikiran aliran, usaha,
gerakan untuk mengganti gagasan, paham adat istiadat yang sudah usang sesuai
dengan kemajuan sains, sesuai dengan kemajuan teknologi. Sering kali modernisasi
masih menimbulkan pertanyaan dan tanda tanya besar karena cenderung mengancam
konsepsi adat istiadat pesantren itu sendiri. Tapi hal itu dapat ditepis,
karena modernisasi yang dimaksudkan adalah penyesuaian tanpa mengorbankan
esensi dan nilai-nilai dasar dalam pesantren. Dengan kata lain modernisasi itu
bukannya merombak dasar-dasar ideologi Islam, melainkan lebih untuk
mempersiapkan dasar-dasar perubahan sosial yang akan menciptakan masyarakat
agama yang berpikir secara rasional.
Bukti bahwa pesantren sudah akrab dengan modernisasi diantaranya; adanya
pembaharuan antara metodelogi dengan menerapkan sistem kurikulum, klasikal,
perjenjangan dan lain-lain. Maka dari itu pesantren menjadi kelembagaan
yayasan dengan kepemimpinan kolektif. Selain itu adanya pembaharuan fungsi, bukan
hanya berfungsi sebagaimana yang telah diulas diatas tadi. Tapi berkembang
menjadi tempat “berekspresi” sehingga santri mampu bersaing dengan dunia luar.
Contohnya di Bahrul Ulum, ada rutinan Lesehan Sastra yang melibatkan para
santri dan sastrawan senior dari daerah sekitar. Selain wadah berekspresi, pesantren
juga berkembang menjadi rehabilitasi sosial bagi keluarga yang mengalami
kegoncangan sosial-keagamaan. Disamping itu para santri juga tanggap dengan
hal-hal kekinian. Nyatanya maraknya penerbitan buku dengan kondisi dan masalah
kontemporer atas nama pesantren. Bahkan akhir-akhir ini di Bahrul Ulum, telah
terselenggara FMPP se Jawa-Madura dengan permasalahan aktual yang masih menjadi
polemik di masyarakat.
Modernisasi tersebut bukannya beralasan, mengingat mereka sangat paham betul
konsep Almukhafadlatu alal qadimi asshalikh wal akhdu biljadidi al’ashlakh (mempertahankan
tradisi klasik yang masih baik, dan mengambil hal yang baru yang lebih baik). Satu kaidah yang
mengkolaborasikan unsur modernisme dan tradisionalisme yang disebut dengan
“modernisme klasik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.