[Infokus] Menolak Stigma Buruk Pesantren - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Kamis, 19 Januari 2017

    [Infokus] Menolak Stigma Buruk Pesantren

    Penulis
    Happy Syafaat Sidiq

    -Modernisasi Klasik


    Mengapa pesantren bisa survive sampai sekarang?

    Pertanyaan ini memang sedikit mengada-ada. Tapi hal itulah yang justru menggoda saya untuk menilik lebih jauh tentang peranan suatu pesantren, dimana pesantren bisa eksis sampai sekarang karena masih mewarisi dan memelihara kelangsungan ajaran Islam yang dikembangkan Ulama dari masa ke masa. Lebih dari itu pesantren juga mampu menjaga, bukan hanya keidentikkan makna Islam, tapi juga makna keaslian Indonesia.

    Terlepas dari itu, saya sempat bingung, akhir-akhir ini banyak sekali stigma-stigma  menimpa dunia pesantren. Kebingungan saya tersebut bukannya tidak beralasan melihat fungsi pesantren sebagai wadah pengembangan ajaran Islam yang sangat penting dan dominan. Stigma-stigma akan pesantren mungkin juga muncul akibat banyak sekali anggapan yang dihantamkan pada pesantren dalam proses dan praktik keislamannya yang sudah terkontaminasi dengan bid’ah dan khurafat. Aksi-aksi kekerasan dan yang memicu terjadinya kekerasan terutama agama yang terjadi di Indonesia. Parahnya lagi mereka berkata demikian karena dilandasi oleh aktor, bahkan dalang kejadian, yakni figur-figur yang (katanya) mempunyai kepahaman Islam yang mendalam dan alumnus pesantren. Sehingga tanpa kita sadari kesan buruk akan pesantren tumbuh dengan sendirinya. Mengingat pesantren merupakan wadah yang  masih murni dalam syiar ajaran Islam kena getahnya.

    Dalam kajian tasawuf yang saya pelajari di pesantren jikalau memang benar-benar memang ingin menegakkan amr ma’ruf nahi munkar di negeri yang indah diwarnai dengan toleransi ini ada baiknya dengan konsep al ma’ruf bil ma’ruf wal munkar bil ma’ruf, dengan artian bahwasanya kita menjalankan peintahNya dengan kebaikan pun menolak kemungkaran dengan kebaikan pula. Terbukti sejak jaman Walisongo di Pulau Jawa mengajarkan tingginya toleransi. Para Walisongo pertama-tama melakukan pendekatan kepada masyarakat yang notabene waktu itu beragama Hindu dan Budha, menyesuaikan dengan adat yang ada, lalu kemudian mengubahnya dengan ajaran Islam secara bertahap. Tidak kemudian menyerukan jihad terhadap orang kafir, tidak. Karena mereka berpedoman bahwa Islam adalah yang kehadirannya membuat orang lain damai, dan mukmin ialah yang keberadaannya membuat orang lain merasa aman.

    -Ekslusivisme

    Selain itu faktor internal dari stigma tersebut diantaranya; kebiasaan santri yang kolot dan kaku yang cenderung tertutup dari lingkungan. Atau bisa juga disebut; masih kuatnya sikap eksklusif (terpisah dari yang lain) para santri dengan lingkungan sosialnya, sehingga santri kurang berinteraksi dengan dunia luar dan lamban dalam menerima gegap gempita perkembangan dunia luar, sehingga tercipta seperti yang diungkapkan Nurkholis Madjid dengan, “kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar”.

    Faktor internal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap sebagian pesantren yang masih “enggan” dan “rikuh” dalam proses menerima modernisasi. Karena yang dikuatirkan pesantren dengan apa yang dinamakan modernisasi tersebut adalah, akan mengorbankan esensi dasar keislaman dalam kaitannya dengan pesantren. Selain itu masih santernya klaim, bahwa pesantren terlalu kaku, kolot, berorientasi akhirat dan melupakan dunia.

    Apabila benar stigma-stigma tentang pesantren tersebut muncul akibat sebagaimana hal yang saya paparkan, maka untuk mengembalikan lagi citra pesantren seperti keadaan semula adalah dengan menolak (mematahkan) stigma tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan peneguhan dalam menjalankan nilai-nilai keislaman dengan sebenar-benarnya. Dan peng-istiqamah-an tradisi positif pesantren selama ini. Hal ini dimaksudkan agar apa yang dilancarkan pihak luar itu adalah hal yang salah, atau setidaknya dapat ter-counter. Karena kegiatan yang berada di pesantren selama ini tidak ada yang berlawanan atau melenceng dari syariat Islam. Memang cukup riskan untuk menolak stigma tersebut dengan tradisi dan modernisasi. Kita tahu dua hal tersebut saling bertolak belakang dan saling berlawanan makna. Tapi melihat pada realitanya sekarang, pesantren sudah berkembang; pesantren salaf, modern dan semi modern. Jadi saya merasa penolakan tersebut tidak hanya dengan tradisi, tapi juga harus dengan modernisasi.

    Stigama tersebut setidaknya dapat terbantahkan dengan tradisi dan modernisasi yang ada dalam pesantren sendiri. Pertama, dengan tradisi adalah dengan menengok ke belakang latar belakang berdirinya pesantren meskipun tertutup. Tapi pesantren lahir dari lingkungan dan pengalaman sosial masyarakat sekitar. Jadi munculnya suatu pesantren itu lebih dipengaruhi oleh desakan daerahnya atau karena dorongan kenyataan, bahwa harus ada pesantren guna transmisi dan transfer ilmu keagamaan.

    -Tradisi Kitab Kuning

    Selain itu pesantren masih tangguh dalam mempertahankan "kitab kuning". Karena kitab kuning tidak hanya mampu melacak tradisi keislamaan Indonesia, tapi juga tradisi Islam itu sendiri. Disamping mengupas Fiqih, Tauhid, Tasawuf juga mampu manampilkan serangkaian perjalanan hikayat tradisional. Dengan kata lain, KK (Kitab Kuning) adalah identitas asli dari sepak terjang para salafusshaleh dengan balutan metode khas Jawanya.

    Belum lagi kaum bersarung masih mempertahankan hal-hal yang benar dianggapnya “keramat”. Sehingga tidak heran transformasi ilmu antara santri - kiai diyakini tidak hanya terjadi via interaksi langsung belajar mengajar saja, namun juga karena faktor “tersurat”. Seperti cium tangan kiai, tawasul, tabarukan lewat ajaran para masayikh, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Karenanya mereka sangat mengenal tentang pesona sebuah barokah. Oleh karena itu pesantren menjelma menjadi semacam lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan kekuasaannya.

    Selain dengan tradisi, stigma tersebut dapat tercabut melalui apa yang dinamakan modernisasi yang ada dalam pesantren. Modernisasi disini bukanlah berorientasi ke Barat (Westernisasi), melainkan pemikiran aliran, usaha, gerakan untuk mengganti gagasan, paham adat istiadat yang sudah usang sesuai dengan kemajuan sains, sesuai dengan kemajuan teknologi. Sering kali modernisasi masih menimbulkan pertanyaan dan tanda tanya besar karena cenderung mengancam konsepsi adat istiadat pesantren itu sendiri. Tapi hal itu dapat ditepis, karena modernisasi yang dimaksudkan adalah penyesuaian tanpa mengorbankan esensi dan nilai-nilai dasar dalam pesantren. Dengan kata lain modernisasi itu bukannya merombak dasar-dasar ideologi Islam, melainkan lebih untuk mempersiapkan dasar-dasar perubahan sosial yang akan menciptakan masyarakat agama yang berpikir secara rasional.

    Bukti bahwa pesantren sudah akrab dengan modernisasi diantaranya; adanya pembaharuan antara metodelogi dengan menerapkan sistem kurikulum, klasikal, perjenjangan dan lain-lain. Maka dari itu pesantren menjadi kelembagaan yayasan dengan kepemimpinan kolektif. Selain itu adanya pembaharuan fungsi, bukan hanya berfungsi sebagaimana yang telah diulas diatas tadi. Tapi berkembang menjadi tempat “berekspresi” sehingga santri mampu bersaing dengan dunia luar. Contohnya di Bahrul Ulum, ada rutinan Lesehan Sastra yang melibatkan para santri dan sastrawan senior dari daerah sekitar. Selain wadah berekspresi, pesantren juga berkembang menjadi rehabilitasi sosial bagi keluarga yang mengalami kegoncangan sosial-keagamaan. Disamping itu para santri juga tanggap dengan hal-hal kekinian. Nyatanya maraknya penerbitan buku dengan kondisi dan masalah kontemporer atas nama pesantren. Bahkan akhir-akhir ini di Bahrul Ulum, telah terselenggara FMPP se Jawa-Madura dengan permasalahan aktual yang masih menjadi polemik di masyarakat.

    Modernisasi tersebut bukannya beralasan, mengingat mereka sangat paham betul konsep Almukhafadlatu alal qadimi asshalikh wal akhdu biljadidi al’ashlakh (mempertahankan tradisi  klasik yang masih baik, dan mengambil hal yang baru yang lebih baik). Satu kaidah yang mengkolaborasikan unsur modernisme dan tradisionalisme yang disebut dengan “modernisme klasik”.


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...