[EDITORIAL] Perspektif Islam Indonesia - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id

    Sabtu, 14 Januari 2017

    [EDITORIAL] Perspektif Islam Indonesia

    Penulis : Happy Syafaat Sidiq


    -Kemajemukan [Laa Roiba Fiih]


    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari 500 suku yang menempati 20.000 pulau, lebih besar dari seluruh Eropa. 2/3 wilayahnya adalah laut, penduduk Islam negeri ini lebih besar daripada penduduk Islam Arab di Timur Tengah. Indonesia juga merupakan Negara yang dimana penduduknya mayoritas Islam, bahkan Indonesia dicap sebagai Negara yang penduduknya Islam terbesar di dunia dewasa ini. Maka dari itu mari kita lihat bagaimana pandangan Islam Indonesia tentang kemajemukan bangsa yang sangat dijunjung tinggi itu.

    Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang relatif berdiri secara Individual [sendiri-sendiri], dan setiap sub sistem terikat kepada sistemnya masing-masing oleh unsur-unsur yang bersifat primodial [Clifford geertz]. Betapa majemuknya bangsa ini; Bangsa majemuk, Bahasa majemuk, Agama majemuk, Suku majemuk, nampak terlihat sangat di Indonesia. Tetapi nan tunggal hanya milik Allah SWT [Sang Khalik]. Selama kita masih bicara tentang makhluk, pastilah kita akan mengahadapi kemajemukan dimana-mana.

    Dalam realitas sosial kultural, Islam sebagai agama di Indonesia dengan penduduk Muslim yang tak minoritas lagi, pada dasarnya dapat menjadi fundamen untuk membangun sebuah kehidupan yang majemuk, yakni hidup berdampingan dengan harmonis, damai, dan berkualitas. Tentunya dengan mengedepankan nilai-nilai universal yang dikandungnya. Dengan itu semua sudah pasti kemajemukan bangsa kita sangat mendukung, dan tak mustahil jika kemajemukan bangsa kita dikatakan sebagai kemajemukan Laa Roiba Fiih [Tidak ada keraguan didalamnya].

    Seiring dengan berjalannya waktu, Umat Islam Indonesia adalah umat terbesar, secara demokratis kita bisa menjadi penyelamat bangsa. Tidak ada satupun yang tabu untuk disuarakan secara demokratis setelah semangat reformasi dikobarkan di Bumi Pertiwi ini. Kita bisa menyatukan masyarakat muslim “secara khusus”, dan juga bisa menyatukan masyarakat Indonesia “secara umum”, yang mempunyai basis ajaran dan agama yang berbeda-beda melalui nilai-nilai yang dikandungnya baik yang sifatnya eksplisit maupun implisit, serta memberikan basis ikatan solidaritas sosial keagamaan yang cukup kuat dan kokoh. Dan justru itulah yang menjadi target kita sebagai penduduk Negara yang agamis. Bukan malah sebaliknya, yang selalu congkreh dengan umat beragama selainnya, bahkan dengan sesama umat beragamanya saja masih belum bisa.

    Lihat saja realitas dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang masih mendengar bahkan melihat tentang segelintir umat yang dengan mudah mengkafirkan umat yang lain, ironisnya lagi ada yang sampai bermusuhan ketika berbeda pendapat. Seolah-olah dia sendirilah yang beriman dan paling benar. Tidak sedikit umat beragama yang ketika mereka memandang umat beragama lainnya sebagai musuh, yang sejatinya hal seperti itu hanyalah akan menyebabkan konflik belaka. Hemat saya akhir-akhir ini indonesia benar benar diguncang isu SARA [Suku, Agama, Ras dan Antar golongan] bagaimana tidak ? SARA seakan-akan menjadi senjata paling ampuh untuk memecah karakter bangsa indonesia yang cenderung toleran. Maka sekali isu SARA disulut sedikit saja akan seperti tisu yang terkena percikan api, ya walau hanya percikan, tetapi semua itu akan melalap habis seisinya hanya dengan sekejap saja, betapa miskinnya toleransi dewasa ini.

    Menyangkut peristiwa diatas, Nabi Muhammad SAW telah meneladankan tentang bermasyarakat dan bernegara. Pada masa dulu [masa Nabi di kota Madinah], Nabi apabila memandang antar umat beragama yang satu dengan yang lain tidaklah sebagai musuh, akan tetapi sebagai saudara dan sesama manusia [makhluK Allah]. Dan beliau tak pernah luput dari sikap toleran dan saling menghargai antar umat Islam dengan umat yang lainnya. Masyarakat Madinah pada jaman Nabi Muhammad SAW merupakan contoh yang sangat ideal dan eksak mengenai kerukunan antar umat beragama tanpa adanya rasa kebencian ataupun dendam, karena ikatan solidaritas sosial keagamaan mereka sangatlah kuat, maka rentan sekali itu bisa terjadi. Begitulah yang seharusnya diterapkan oleh bangsa kita ini, sebagai bangsa yang agamis.

    Kaum Muslimin Indonesia dapat mengambil contoh serta bukti yang otentik dari Rasulullah SAW menyangkut kemasyarakatan dan kenegaraan tentang sikap toleran dan saling menghargai dalam masyarakat yang majemuk. Kemajemukan memang merupakan satu tantangan yang besar bagi agama-agama di era modern seperti ini, termasuk bagi kita “Umat Islam Indonesia”.

    Pandangan setiap umat beragama akan kebenaran ajaran masing-masing agama merupakan sesuatu yang memang sudah semaklumnya. Sebab setiap pemeluk agama membutuhkan kepastian tentang kebenaran yang ditawarkan oleh agamanya tersebut. Namun sikap tidak menghargai terhadap pemeluk agama lain merupakan sebuah fanatisme yang sempit dan sangat tidak tepat. Fanatisme sempit semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk agama manapun, sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebab utama mengapa kadang tampak hubungan sosial yang kurang serasi dan seringkali justru menjadi tenggang jarak antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain ?, diduga adalah karena faktor fanatisme seperti ini, sekalipun harus diakui pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya konflik semacam itu.

    Adalah kenyataan yang sungguh memperihatinkan mengenai pertentangan antar umat beragama yang hanya membawa kekerasan dan perpecahan. Sama halnya dengan misi dakwah keagamaan yang isinya hanya mencemooh agama lain serta umatnya, menghasut, membakar emosi umat untuk membenci, bahkan menyerang umat agama lain. Permusuhan seperti itu merupakan satu diantara tanda betapa masyarakat kita masih mudah terpecah dan dipecah belah. Dan karena itulah kita “Bangsa Indonesia” belum pantas disebut kembali sebagai bangsa yang agamis.

    Lantaran semua itu mari kita pergi sejenak dalam dunia khayal yang Insha Allah akan bisa memberi manfa’at. Katakan saja tokoh-tokoh dan umat beragama selalu ada yang mengajak untuk berkomunikasi, berinteraksi sosial, berdialog, dan bekerja sama dalam tugas-tugas yang berbau duniawi, kemanusiaan, dan kebangsaan tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan, maka tidak akan ada lagi hasutan dan tuduhan yang diarahkan pada antar umat beragama. Karena itu semua semata-mata hanya atas nama bangsa, bukan agama. Yang serta juga dapat menimbulkan rasa ke-Nasionalisme-an kita. Langkah ini bisa menjadi satu diantara alternatif untuk menuju kerukunan antar umat beragama, terutama di Negara Indonesia yang sangat majemuk ini.

    Kita harus bersatupadu untuk menyelesaikan problem-problem bangsa kita. Dan itu harus dimulai dari kita sendiri umat Islam. Namun umat Islam jangan sampai terjerumus ke dalam fitnah dan membuat keonaran. Tempuhlah semuanya dengan cara-cara yang mulus, damai, dan sehat. “Mengapa begitu ?”, karena Islam bukanlah agama yang radikal  dan anarkis. Akan tetapi Islam adalah agama yang cinta damai, ramah, dan santun, dengan kata lain yang biasa disebut dengan “Islam Rahmatan lil ‘alamien" [Agama yang penuh rahmat bagi siapa saja], disitulah lebih tepatnya.
    Dan untuk umat Islam Indonesia, Semoga bisa bersatupadu untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang terkait dengan etika solidaritas sosial keagamaan, yang dewasa ini sering sekali diumbar-umbar, baik dalam dunia maya maupun tidak, terutama dalam media massa, sehingga bangsa kita pantas disebut kembali sebagai bangsa yang Agamis.  

    *Tulisan ini sudah melalui proses pengeditan secara penulisan Bahasa Indonesia tanpa sedikitpun merubah maksud.


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda

    ... ...