Penulis : Happy Syafaat Sidiq
-Kemajemukan [Laa Roiba Fiih]
*Tulisan ini sudah melalui proses pengeditan secara penulisan Bahasa Indonesia tanpa sedikitpun merubah maksud.
-Kemajemukan [Laa Roiba Fiih]
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari
500 suku yang menempati 20.000 pulau, lebih besar dari seluruh Eropa. 2/3
wilayahnya adalah laut, penduduk Islam negeri ini lebih besar daripada penduduk Islam Arab di Timur Tengah. Indonesia
juga merupakan Negara yang dimana penduduknya mayoritas Islam, bahkan Indonesia
dicap sebagai Negara yang penduduknya Islam terbesar di dunia dewasa
ini. Maka dari itu mari kita lihat bagaimana pandangan Islam Indonesia tentang
kemajemukan bangsa yang sangat dijunjung tinggi itu.
Masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang relatif
berdiri secara Individual [sendiri-sendiri], dan setiap sub sistem
terikat kepada sistemnya masing-masing oleh unsur-unsur yang bersifat primodial [Clifford
geertz]. Betapa majemuknya bangsa ini; Bangsa majemuk, Bahasa majemuk, Agama
majemuk, Suku majemuk, nampak terlihat sangat di Indonesia. Tetapi nan tunggal
hanya milik Allah SWT [Sang Khalik]. Selama kita masih bicara tentang makhluk,
pastilah kita akan mengahadapi kemajemukan dimana-mana.
Dalam realitas sosial kultural,
Islam sebagai agama di Indonesia dengan
penduduk Muslim yang tak minoritas lagi, pada dasarnya dapat menjadi fundamen
untuk membangun sebuah kehidupan yang majemuk, yakni hidup berdampingan
dengan harmonis, damai, dan berkualitas. Tentunya dengan mengedepankan
nilai-nilai universal yang dikandungnya. Dengan itu semua sudah pasti
kemajemukan bangsa kita sangat mendukung, dan tak mustahil jika kemajemukan
bangsa kita dikatakan sebagai kemajemukan Laa Roiba Fiih [Tidak ada
keraguan didalamnya].
Seiring dengan berjalannya
waktu, Umat Islam Indonesia adalah umat terbesar, secara demokratis
kita bisa menjadi penyelamat bangsa. Tidak ada satupun yang tabu untuk
disuarakan secara demokratis setelah semangat reformasi dikobarkan di Bumi
Pertiwi ini. Kita bisa menyatukan masyarakat muslim “secara khusus”, dan juga
bisa menyatukan masyarakat Indonesia “secara umum”, yang mempunyai basis ajaran
dan agama yang berbeda-beda melalui nilai-nilai yang dikandungnya baik yang
sifatnya eksplisit maupun implisit, serta memberikan basis ikatan
solidaritas sosial keagamaan yang cukup kuat dan kokoh. Dan justru itulah yang
menjadi target kita sebagai penduduk Negara yang agamis. Bukan malah
sebaliknya, yang selalu congkreh dengan umat beragama selainnya, bahkan
dengan sesama umat beragamanya saja masih belum bisa.
Lihat saja realitas dalam
kehidupan sehari-hari, kita kadang masih mendengar bahkan melihat tentang
segelintir umat yang dengan mudah mengkafirkan umat yang lain, ironisnya lagi
ada yang sampai bermusuhan ketika berbeda pendapat. Seolah-olah dia sendirilah
yang beriman dan paling benar. Tidak sedikit umat beragama yang ketika mereka
memandang umat beragama lainnya sebagai musuh, yang sejatinya hal seperti itu
hanyalah akan menyebabkan konflik belaka. Hemat saya akhir-akhir ini indonesia
benar benar diguncang isu SARA [Suku, Agama, Ras dan Antar golongan] bagaimana
tidak ? SARA seakan-akan menjadi senjata paling ampuh untuk memecah
karakter bangsa indonesia yang cenderung toleran. Maka sekali isu SARA disulut
sedikit saja akan seperti tisu yang terkena percikan api, ya walau hanya
percikan, tetapi semua itu akan melalap habis seisinya hanya dengan sekejap
saja, betapa miskinnya toleransi dewasa ini.
Menyangkut peristiwa diatas,
Nabi Muhammad SAW telah meneladankan tentang bermasyarakat dan bernegara. Pada
masa dulu [masa Nabi di kota Madinah], Nabi apabila memandang antar umat
beragama yang satu dengan yang lain tidaklah sebagai musuh, akan tetapi sebagai
saudara dan sesama manusia [makhluK Allah]. Dan beliau tak pernah luput
dari sikap toleran dan saling menghargai antar umat Islam dengan umat
yang lainnya. Masyarakat Madinah pada jaman Nabi Muhammad SAW merupakan contoh
yang sangat ideal dan eksak mengenai kerukunan antar umat beragama tanpa adanya
rasa kebencian ataupun dendam, karena ikatan solidaritas sosial keagamaan
mereka sangatlah kuat, maka rentan sekali itu bisa terjadi. Begitulah yang
seharusnya diterapkan oleh bangsa kita ini, sebagai bangsa yang agamis.
Kaum Muslimin Indonesia dapat
mengambil contoh serta bukti yang otentik dari Rasulullah SAW menyangkut
kemasyarakatan dan kenegaraan tentang sikap toleran dan saling menghargai dalam
masyarakat yang majemuk. Kemajemukan memang merupakan satu tantangan yang
besar bagi agama-agama di era modern seperti ini, termasuk bagi kita “Umat
Islam Indonesia”.
Pandangan setiap umat beragama
akan kebenaran ajaran masing-masing agama merupakan sesuatu yang memang
sudah semaklumnya. Sebab setiap pemeluk agama membutuhkan kepastian tentang
kebenaran yang ditawarkan oleh agamanya tersebut. Namun sikap tidak menghargai
terhadap pemeluk agama lain merupakan sebuah fanatisme yang sempit dan sangat
tidak tepat. Fanatisme sempit semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk
agama manapun, sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebab utama mengapa
kadang tampak hubungan sosial yang kurang serasi dan seringkali justru menjadi
tenggang jarak antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain ?, diduga adalah
karena faktor fanatisme seperti ini, sekalipun harus diakui pula kemungkinan
adanya faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya konflik semacam itu.
Adalah kenyataan yang sungguh
memperihatinkan mengenai pertentangan antar umat beragama yang hanya membawa
kekerasan dan perpecahan. Sama halnya dengan misi dakwah keagamaan yang isinya
hanya mencemooh agama lain serta umatnya, menghasut, membakar emosi umat untuk
membenci, bahkan menyerang umat agama lain. Permusuhan seperti itu merupakan satu diantara tanda betapa masyarakat kita masih mudah terpecah dan dipecah belah.
Dan karena itulah kita “Bangsa Indonesia” belum pantas disebut kembali sebagai
bangsa yang agamis.
Lantaran semua itu mari kita
pergi sejenak dalam dunia khayal yang Insha Allah akan bisa memberi manfa’at.
Katakan saja tokoh-tokoh dan umat beragama selalu ada yang mengajak untuk
berkomunikasi, berinteraksi sosial, berdialog, dan bekerja sama dalam
tugas-tugas yang berbau duniawi, kemanusiaan, dan kebangsaan tanpa melihat
perbedaan agama dan keyakinan, maka tidak akan ada lagi hasutan dan tuduhan
yang diarahkan pada antar umat beragama. Karena itu semua semata-mata hanya
atas nama bangsa, bukan agama. Yang serta juga dapat menimbulkan rasa ke-Nasionalisme-an
kita. Langkah ini bisa menjadi satu diantara alternatif untuk menuju kerukunan
antar umat beragama, terutama di Negara Indonesia yang sangat majemuk ini.
Kita harus bersatupadu untuk
menyelesaikan problem-problem bangsa kita. Dan itu harus dimulai dari kita
sendiri umat Islam. Namun umat Islam jangan sampai terjerumus ke dalam fitnah
dan membuat keonaran. Tempuhlah semuanya dengan cara-cara yang mulus, damai,
dan sehat. “Mengapa begitu ?”, karena Islam bukanlah agama yang radikal dan anarkis. Akan tetapi Islam adalah
agama yang cinta damai, ramah, dan santun, dengan kata lain yang biasa disebut
dengan “Islam Rahmatan lil ‘alamien" [Agama yang penuh rahmat bagi siapa
saja], disitulah lebih tepatnya.
Dan
untuk umat Islam Indonesia, Semoga bisa bersatupadu untuk menyelesaikan
masalah-masalah bangsa yang terkait dengan etika solidaritas sosial keagamaan,
yang dewasa ini sering sekali diumbar-umbar, baik dalam dunia maya maupun
tidak, terutama dalam media massa, sehingga bangsa kita pantas disebut kembali
sebagai bangsa yang Agamis. *Tulisan ini sudah melalui proses pengeditan secara penulisan Bahasa Indonesia tanpa sedikitpun merubah maksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.